Kamis, 22 November 2007

BELAJAR DARI PAK TJOKRO

ISLAMISASI ILMU ALA HOS TJOKROAMINOTO
Oleh: Aji Dedi Mulawarman

Setinggi-tinggi Ilmu, semurni-murni Tauhid, sepintar-pintar Siasat




1. PENDAHULUAN

Segala puji hanya untuk Allah SWT. Salawat serta salam semoga tercurah kepada Muhammad saw., keluarga serta pengikutnya yang setia. Rujukan Islamisasi Ilmu biasanya berpusat pada dua tokoh utama, yaitu Ismail Raji Al Faruqi dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas tahun 1984-1985. Pemikiran Faruqi dan Al Attas tentang Islamisasi Ilmu diilhami oleh Muhammad Abduh dan lebih menajam pada sosok Muhammad Iqbal tahun 1928 yang menggagas rekonstruksi pemikiran Islam di awal abad XX.

Bila dirunut dari awal, berdasarkan kronologis mainstream Islamisasi Ilmu, biasanya diukur dari keresahan para intelektual di awal abad XX, yang menurut Al-Faruqi dilakukan oleh para ”guru paling terkemuka” yaitu Muhammad Abduh dan Muhammad Iqbal (semoga Allah selalu memberkati dan memberikan tempat yang sempurna di sisi-Nya). Terutama Iqbal dalam bukunya yang sangat revolusioner, berjudul ”The Reconstruction of Religious Thought in Islam yang merupakan kumpulan ceramah-ceramah filosofis beliau. Enam ceramah dilakukan Iqbal di Madras dan 1 ceramah dilakukan di Inggris selama tahun 1928.. Menurut Wan Daud (2003, 389) pikiran-pikiran filosofis Iqbal merupakan pikiran yang mendahului jamannya. Fazlur Rahman menyebut Iqbal sebagai seorang Tasawuf Positif.


2. ISMA’IL RAJI AL FARUQI

Islamisasi Ilmu sendiri secara formal-linguistik biasanya ditujukan pada Ismail Raji Al Faruqi. Menurut Al-Faruqi (1995), Islamisasi Pengetahuan sebenarnya merupakan satu tugas yang serupa sifatnya dengan tugas yang pernah dimainkan oleh nenek moyang kita yang mencerna ilmu zaman mereka dan mewariskan kepada kita peradaban dan kebudayaan Islam, walaupun ruang lingkupnya kini lebih luas. Pengertian Islamisasi Pengetahuan bagi Al-Faruqi adalah penguasaan semua disiplin Modern dengan sempurna, melakukan integrasi dalam utuhan warisan Islam dengan eliminasi, perubahan, penafsiran kembali dan penyesuaian terhadap komponen-komponen pandangan dunia Islam dan menetapkan nilai-nilainya (Al Faruqi 1995, 34-35).

Islamisasi Ilmu harus merujuk pada tiga sumbu Tawhid, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan hidup dan kesatuan sejarah. Kesatuan pengetahuan berkaitan dengan tidak ada lagi pemisahan pengetahuan rasional (aqli) dan tidak rasional (naqli). Kesatuan hidup berkaitan dengan semua pengetahuan yang harus mengacu pada tujuan penciptaan, yang berdampak lanjutan pada tidak bebasnya pengetahuan dari nilai, yaitu nilai Ketuhanan. Kesatuan sejarah berkaitan kesatuan disiplin yang harus mengarah sifat keuumatan dan mengabdi pada tujuan-tujuan ummah di dalam sejarah.

Tiga prinsip kesatuan, dengan demikian tidak lagi melakukan pembagian pengetahuan dalam sains-sains yang bersifat individual maupun yang sosial, semua disiplin bersifat humanistis dan ummatis (Al Faruqi 1995, xii). Menurut Al Faruqi (1995, xii) untuk menjalankan tiga prinsip kesatuan tersebut diperlukan penjelasan teknis yang disebutnya sebagai Dua Belas Langkah Rencana Kerja Islamisasi Pengetahuan (lebih detil lihat Faruqi 1995). Inti dari Islamisasi adalah sintesa kreatif ilmu-ilmu Islam tradisional dan disiplin-disiplin ilmu Modern. Sintesa ini diharapkan Al-Faruqi memberikan solusi bagi permasalahan masyarakat muslim, yang digulirkan menjadi bentuk buku-buku daras dan kurikulum pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dan realitas masyarakat muslim.

Langkah-langkah konkrit Al-Faruqi bukanlah sebuah model yang selesai. Banyak pengembangan dan kritik disampaikan, misalnya pengembangan yang dilakukan oleh International Institute of Islamic Thought (IIIT) yang didirikan sendiri oleh Faruqi. Atau bahkan kritik yang disampaikan oleh Sardar (1987), Al-Attas dan banyak lagi di Indonesia seperti Mahzar (2005) dan Kuntowijoyo (2004). Menurut saya apa yang dilakukan oleh Al Faruqi sebenarnya mirip dengan konsep koeksistensi (epistemologi berpasangan) atau epistemologi profetik dari Kuntowijoyo. Model yang agak berbeda adalah bentuk Islamisasi dari Al-Attas (Islamisasi Bahasa), Sardar (Islamisasi Sains dan Teknologi dalam konteks Peradaban) dan Mahzar (Islamisasi Teknologi).

Pengembangan tahapan Islamisasi Ilmu oleh Safi (1996) dari IIIT misalnya dengan meringkas Dua Belas Langkah Faruqi menjadi Tiga Langkah yang lebih umum. Sedangkan kritik Sardar (1987, 85) atas proyek dan langkah Islamisasi Faruqi, adalah pada pengabaian realitas epistemologis Barat yang membangun dunia modern saat ini. Proyek Islamisasi Faruqi seakan tidak melihat kekuatan epistemologi Barat yang mendominasi seluruh lini pengetahuan yang telah berkembang saat ini. Sardar (1987, 90) menegaskan bahwa yang paling penting sebelum dilakukan proses praktis seperti Islamisasi model Faruqi adalah melakukan perubahan epistemologis Barat terlebih dahulu (Sardar 1987, 85-106).


3. SYED MUHAMMAD NAQUIB AL ATTAS

Wan Daud (2003), murid Syed Muhammad Naquib Al Attas, menganggap bahwa Al Attas adalah source awal Islamisasi Ilmu berasal. Hal ini dibuktikan dengan surat menyurat yang dilakukan oleh Faruqi dan Al-Attas berkaitan dengan pemberdayaan keilmuan masyarakat muslim. Kritik Al-Attas terhadap Islamisasi yang dilakukan Faruqi, bahwa Faruqi hanya melakukan Islamisasi ilmu kontemporer saja, dan tidak melakukan rekonstruksi atas ilmu (disebut Al Attas sebagai Turath Islamyy) (Hashim 2005). Proses Islamisasi harus melakukan dua langkah utama, yaitu proses verifikasi dan proses penyerapan dengan batasan-batasan tertentu. Proses Islamisasi adalah proses sintesis seperti dilakukan Faruqi. Sintesa dapat dilakukan ketika konsep-konsep Barat telah disaring dan direduksi unsur-unsurnya. Yang paling penting, lanjut Al-Attas, Islamisasi Al Faruqi mengecilkan peran tassawuf. Bagi Al-Attas, tassawuf adalah cara yang harus pula dilakukan untuk menyelamatkan manusia dari cengkeraman empirisme, pragmatisme, materialisme dan rasionalisme sempit yang merupakan sumber utama sains modern. Masuknya konsep tassawuf menurut Al-Attas akan memberi arah yang benar pada kesatuan akal, jiwa, intuisi dan spiritualitas.

Islamisasi Ilmu, menurut Sardar (1987, 67) merupakan bagian dari bangunan Peradaban Islam yang pada hakikatnya adalah proses penguraian pandangan dunia Islam secara teoritis sekaligus praktis, masing-masing menunjang satu sama lainnya, teori membentuk praktik dan perilaku, dan praktik memperbaiki teori. Pembangunan kembali bukan hanya tugas pribadi-pribadi tetapi merupakan tugas kelompok yang memerlukan usaha banyak sarjana dengan latar belakang dan disiplin ilmu berbeda-beda, semuanya memusatkan perhatian dan bakat mereka pada usaha interdisipliner untuk membangun kembali Peradaban. Usaha peradaban adalah usaha pencarian global yang harus mencakup seluruh unsur pemikiran dan tindakan ummah. Tetapi setiap langkah menuju masa depan memerlukan penguraian lebih jauh atas pandangan dunia (world view/paradigm) Islam, suatu kebutuhan akan prinsip ijtihad yang dinamis yang memungkinkan peradaban Muslim untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang terus berubah. Mulai dari struktur politik dan sosial, ekonomi, lingkungan, sains dan teknologi yang semuanya berinduk pada pandangan dunia yang utuh, Pandangan Dunia Islam. Ciri unik pandangan dunia Islam adalah bahwa dia mengetengahkan suatu pandangan interaktif dan terpadu yang diikat oleh nilai utama, Tawhid.


4. HOS TJOKROAMINOTO: AWAL ISLAMISASI?

Hadji Oemar Said Tjokroaminoto lahir di Ponorogo, tanggal 6 Agustus 1882, meninggal dunia pada tanggal 17 Desember 1934, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Pekuncen, Yogyakarta. Tjokroaminoto biasanya hanya dikenal sebagai politikus dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Beliau dapat dianggap sebagai ilmuwan otodidak yang banyak mempengaruhi pemikiran para tokoh kemerdekaan seperti Semaun yang sosialis, Soekarno yang nasionalis, dan Kartosuwiryo yang agamis.

Sarekat Dagang Indonesia (SDI) muncul tahun 1905 dari tokoh awalnya H. Samanhudi dan menjadi besar berkat sentuhan tangan HOS Tjokroaminoto tahun 1913 (Gonggong 1985). HOS Tjokroaminoto dalam perjalanan sejarahnya telah mendistribusikan pemikiran model bisnis (baik praktik, konseptual sampai politik) Islam versi Indonesia dari semangat komunitas SDI. SDI memang menjalankan mekanisme yang mirip dengan gagasan Ekonomi Islam awal dari Muhammad saw.

Anggota SDI awal didominasi para produsen sekaligus pedagang dengan semangat Islamnya mempertahankan gaya bisnisnya dari tekanan Belanda melalui subordinasinya, yaitu para pedagang Cina (Noer 1996). Konsep ekonomi khas SDI dapat dilihat dari pemikiran Tjokroaminoto dalam buku fenomenalnya, "Islam dan Sosialisme" yang terbit tahun 1925. Bila dilihat dari waktu terbitnya buku ini jelas sekali apa yang dilakukan oleh Tjokroaminoto mendahului apa yang dilakukan Faruqi dan Al-Attas, bahkan Iqbal sekalipun.

Beberapa pemikiran utama Tjokroaminoto dengan tekanan konsep ekonomi dan sosial Islam seperti dijelaskan sendiri oleh beliau (Tjokroaminoto 1950, 17):

Hanya Islam itu saja agama yang mencampurkan perkara lahir dengan perkara batin. Islam memberi aturan untuk pedoman bagi perikehidupan batin dan juga pedoman bagi pergaulan hidup bersama, bagi perkara-perkara politik, pemerintahan negeri, militer, kehakiman dan perdagangan dunia.

Penolakannya terhadap prinsip sosialisme yang materialistik telah menempatkan Tjokroaminoto sebagai salah satu pemikir Indonesia paling awal dengan proses Islamisasi Ilmu, yaitu Islamisasi konsep Sosialisme Marxist. Statemen yang jelas-jelas memberikan stimulasi awal bagi Tjokroaminoto untuk melakukan Islamisasi konsep atau paham Sosialisme (Tjokroaminoto 1950, 17-23):

Saya tidak bisa menutup pendahuluan ini, kalau lebih dulu saja belum menguraikan sosialisme yang pada dewasa ini umumnya dipeluk oleh kaum Sosialis dan juga oleh kaum Communist di negeri-negeri Barat, yaitu yang lumrahnya dosebut wefenschappeliik socialisme (socialisme berdasar pengetahuan) atau disebut Marxisme namanya. Maksudnya uraian ini ialah buat menunjukkan, bahwa kita orang Islam tidak boleh dan tidak dapat menerima segenapnya wefenschappeliik socialisme pelajarannya Karl Marx itu. Meskipun wefenschappeliik socialisme menampak dan mengakui dirinya satu peraturan tentang urusan harta benda (economisch stelsel), tetapi sesungguhnya Marxisme itu sama sekali berdiri di atas dasar cita-cita semata-mata beralasan perkara hikmah belaka (wrisgeerige basis)... Agaknya kita tidak tersesat kalau kita mengatakan bukan saja historisch materialisme itu mungkir kepada Allah, tetapi historisch materialisme juga ber-Tuhankan benda disini tidak berarti: senang atau cinta kepada benda, tetapi berarti perkataan yang sebenarnya: benda dijadikannya Tuhan, daripada paham ini diterangkan, bahwa benda itu asalnya segala sesuatu, asalnya sifat asalnya perasaan dan asalnya hidup yang lebih tinggi. Mungkir kepada Allah, dan ber-Tuhankan benda!

Berdasarkan kesalahan ontologis dan epistemologis Materialisme Historis Marxis itulah kemudian Tjokroaminoto melakukan Islamisasi ajaran Sosialisme Marxis, yaitu yang disebutnya dengan Sosialisme Cara Islam. Sosialisme Cara Islam bertujuan untuk melaksanakan kedamaian dan keselamatan berdasarkan pada tafsir kata Islam yang memiliki 4 makna utama, yaitu:

  1. Aslama, maknanya ketundukan. Ketundukan harus diiutamakan kepada Allah, kepada Rasul dan Para nabi serta kepada pemimpin Islam.

  2. Salima, maknanya keselamatan. Kesematan di dunia dan akherat apabila setiap muslim menjalankan ajaran Islam secara sungguh-sungguh.

  3. Salmi, maknanya kerukunan. Kerukunan harus dilaksanakan dan diimplementasikan di antara sesama Muslim.

  4. Sulami, maknanya tangga. Setiap muslim yang menjalankan ajarannya dengan sungguh-sungguh haruslah melalui tingkatan-tingkatan yang bermakna keselarasan dunia dan akhirat sebagai simbol menuju derajat kesempurnaan hidup.

Berdasarkan 4 makna Islam itulah Tjokroaminoto kemudian menggagas Dua Prinsip Utama Sosialisme Cara Islam, yaitu Kedermawanan Islami dan Persaudaraan Islam (Tjokroaminoto 1950, 28-32). Kedermawanan Islami sebagai prinsip bukanlah melakukan sedekah sebagai kebajikan semata, tetapi sedekah adalah kewajiban untuk meraih cinta Allah. Kedermawanan untuk meraih cinta Allah akan berdampak pada tiga hal. Pertama, menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi untuk mencapai Keridhaan Allah. Kedua, zakat sebagai dasar bagi distribusi dan pemerataan kekayaan untuk seluruh masyarakat. Ketiga, kemiskinan dunia bukanlah kehinaan, tetapi kejahatan dunia adalah kehinaan. Prinsip kedua, yaitu Persaudaraan Islam, menekankan persaudaraan yang dibangun bukan dibangun berdasarkan pada suku, warna kulit, ras, kekayaan atau lainnya, tetapi berdasar pada ketakwaan.


5. CATATAN AKHIR

Tak dapat dipungkiri, gagasan orisinil HOS Tjokroaminoto mengenai Sosialisme Cara Islam yang diluncurkan pada bulan Nopember tahun 1924 adalah warisan tak ternilai bagi masyarakat intelektual muslim Indonesia bahkan dunia Muslim secara umum. HOS Tjokroaminoto adalah sosok pejuang, politikus sekaligus ilmuwan. Obor perjuangan yang utuh sebagai seorang Muslim sederhana, Raja Tanpa Mahkota, Ratu Adil bagi wong cilik. Hormat Selalu untukmu Pak Tjokro. Ya Allah ampunilah dosa-dosanya, berilah ruang di sisiMu bersama para Mujahid sepanjang jaman. Amin.

HABITUS CULTUURSTELSEL RAKYAT: PESAN UNTUK RUU UKM

HABITUS CULTUURSTELSEL RAKYAT: PESAN UNTUK RUU UMKM
Oleh: Aji Dedi Mulawarman





Pendahuluan

Di tengah-tengah terjadinya gelombang besar neoliberalism (lewat liberalisasi dan deregulasi pro pasar) sebagai puncak dari pelaksanaan 10 kebijakan Washington Consencus tahun 1989, permasalahan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia atau sekarang definisinya menjadi “garis linier menurun” disebut Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), tak kunjung selesai dibicarakan, didiskusikan, “direkayasa”, diupayakan penguatannya, bahkan - sampai yang katanya - “diposisikan” sebagai salah satu tiang utama perekonomian nasional.

Pendekatan penguatan UKM/UMKM (yang semuanya masuk dalam UU No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil maupun draft RUU UMKM) dilakukan mulai dari akademik (penelitian, pelatihan, seminar-seminar, sosialisasi teknologi), pemberdayaan (akses pembiayaan, peluang usaha, kemitraan, pemasaran, dll), regulatif (legislasi dan perundang-undangan), kebijakan publik (pembentukan kementrian khusus di pemerintahan pusat sampai dinas di kota/kabupaten, pembentukan lembaga-lembaga profesi), sosiologis (pendampingan formal dan informal), behavior (perubahan perilaku usaha, profesionalisme). Bahkan sampai pada pendekatan sinergis-konstruktif (program nasional Jaring Pengaman Nasional, pengentasan kemiskinan, Pembentukan Lembaga Penjaminan, Pembentukan UKM-UKM Center daerah sampai nasional).

Hasilnya, UKM dari tahun ke tahun jumlahnya naik, dari 40 juta tahun 2001 menjadi 44 juta tahun 2007. Kontribusinya pada PDB makin menurun, dari 41,07% tahun 2003 menjadi 40,36% tahun 2004. Berbeda dengan Usaha Besar, yang jumlahnya relative tetap, yaitu sekitar 2500 perusahaan. Tetapi kontribusinya pada PDB selalu meningkat dari tahun ke tahun, dari 43,33% tahun 2003 menjadi 44,12%.


Ekonomi Rakyat vs UMKM

Perdebatan mengenai kedudukan UMKM di Indonesia atau dalam konteks Ekonomi Pancasila saat ini berada pada “persimpangan jalan” implementasi pasal 33 UUD 1945. Turunannya bisa berbentuk Ekonomi Pancasila versi Kementrian Koperasi dan UMKM, atau Ekonomi Kerakyatan/Koperasi versi Hatta dan para penerusnya. Bagi pendukung gerakan ini UKM adalah istilah Bank Dunia dan IMF, terjemahan dari Small and Medium Enterprises. UKM secara implisit kata Mubyarto (2002) adalah representasi kooptasi globalisasi dan neoliberalisme untuk mematikan ekonomi rakyat.

Istilah ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi menurut para pendukungnya bukanlah kooptasi dan pengkerdilan usaha mayoritas rakyat Indonesia, tetapi merupakan kegiatan produksi dan konsumsi yang dilakukan oleh semua warga masyarakat dan untuk warga masyarakat, sedangkan pengelolaannya dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat sendiri (Mubyarto, 2002).


Habitus dan Doxa Cultuurstelsel dalam Jiwa UMKM

Apakah memang benar kata Pierre Bourdieu bahwa setiap manusia dan realitas sosial dipengaruhi oleh Habitus? Menurut Bourdieu setiap individu dalam realitas (practice) tidak semata-mata menjalankan produk sosial tetapi juga dipengaruhi kerangka pikir dan menterjemah dalam perilaku individu (Bourdieu dan Wacquant, 1992). Habitus dapat dikatakan sebagai “blinkering perception of reality” (Fowler 1997 dalam Wainwright 2000, 10). Artinya, habitus lanjut Takwin (2005, xviii-xix) habitus merupakan hasil pembelajaran lewat pengalaman, aktivitas bermain dan pendidikan masyarakat dalam arti luas. Pembelajaran terjadi secara halus (disebut doxa oleh Bourdieu), tidak disadari dan tampil sebagai hal wajar, sehingga seolah-olah sesuatu yang alamiah, seakan-akan terberi oleh alam.

Ketika tesis Sritua Arif (1995) benar bahwa masyarakat Indonesia telah terkooptasi secara “turun-temurun” oleh budaya cultuurstelsel Belanda selama 350 tahun, maka menjadi logislah kita semua masih senang didominasi oleh gerakan “tanam paksa” Neoliberal. Cultuurstelsel telah menjadi habitus rakyat Indonesia lewat doxa kapitalisme, Neoliberalisme Ekonomi. Ekonomi Rakyat sebagai idealisme perekonomian Hatta ternyata pula telah tergerus oleh doxa Neoliberalisme Ekonomi. Neoliberalisme Ekonomi bahkan telah menjadi (dikatakan oleh Bourdieu) sebagai symbolic violence, kejahatan simbolis dari doxa.

Bentuk konkrit habitus cultuurstelsel, Usaha Besar harus menjadi pusat kendali dari trickle down effect dalam bursa efek, mega-industri sampai oligopoli pasar nasional. Sedangkan UMKM yang 99% hanyalah menjadi tiang penopang ekonomi (dan sesungguhnya pula hanya sebagai pelengkap penderita) dalam bentuk subordinasi untuk Usaha Besar. Itulah yang terpotret dalam jiwa RUU UMKM kita. Definisi UMKM telah menjadi Habitus rakyat Indonesia, lewat doxa kapitalisme untuk menggeser “hati nurani” pasal 33 UUD 1945.


Ekonomi Rakyat “Baru”?

Mementingkan akses pendanaan, pemasaran, kuota, hak atas saham milik BUMN bagi Koperasi dan UMKM, redistribusi aset kalau perlu, pemberdayaan diri, pemberdayaan sosial, teknologi, pelatihan, dan bentuk-bentuk materi-egoistik memang dapat bermanfaat bagi penguatan ekonomi rakyat atau Koperasi dan UMKM. Tetapi perlu diingat bahwa Pasal 33 UUD 1945 tidak dapat dibaca hanya sebagai salah satu penggalan kepentingan ekonomi masyarakat Indonesia. Kemakmuran ekonomi masyarakat bukan hanya perwujudan pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 hanyalah salah satu bagian dari seluruh kehendak rakyat Indonesia yang holistik yaitu menginginkan kesejahteraan sosial, ekonomi, politik, budaya, lahir dan batin, serta mewujudkan harkat martabat manusia berke-Tuhan-an.

Menjadi benarlah pesan HOS Tjokroaminoto: “keluar dari kapitalisme menuju sosialisme tidaklah berguna, karena keduanya masih menuhankan benda. Ekonomi yang benar adalah ekonomi untuk rakyat, ekonomi berorientasi kebersamaan, bermoral, memiliki tanggung jawab sosial dan paling penting tanggungjawab pada Tuhan.” Tetapi, religiusitas ekonomi rakyat bukanlah religiusitas gaya spiritual company yang menggunakan spiritualitas untuk kepentingan keuntungan ekonomi atau apapunlah. Ekonomi rakyat haruslah utuh dan kokoh bersandar pada kepentingan jangka panjang, Jalan Tuhan. Insya Allah.


Singosari, 6 September 2007, menjelang Ramadhan.

Selasa, 20 November 2007

ARTIKEL AKUNTANSI SYARI'AH

Artikel saya mengenai akuntansi syari'ah, pendidikan akuntansi, keuangan Islam yang pernah di presentasikan di berbagai forum nasional-internasional:

1. Seminar Reinventing Paradigms of Social Studies in Indonesia, Yogyakarta, 11-13 Agustus 2006, FISE UNY-HISPISI. Judul Makalah: Pendidikan Akuntansi Berbasis Cinta, oleh Aji Dedi Mulawarman
2. Merefleksi Domain Pendidikan Ekonomi dan Bisnis, Salatiga, 1 Desember 2006, FE Universitas Kristen Satya Wacana. Judul Makalah: Pensucian Pendidikan Akuntansi, oleh Aji Dedi Mulawarman
3. First Accounting Session: Revolution of Accounting Education, Universitas Kristen Maranatha Bandung, 18-19 Januari 2007. Judul Makalah: Pensucian Pendidikan Akuntansi Episode Dua, oleh Aji Dedi Mulawarman
4. Seminar Sehari Perbankan Syari'ah yang diadakan Lembaga Riset Keuangan Syari'ah Universitas Cokroaminoto Jogjakarta, 28 Maret 2007. Judul Makalah: Keuangan Syari’ah: Antara Konsep, Perkembangan Terkini dan Prospek Ke Depan, oleh Aji Dedi Mulawarman
5. Simposium Nasional Akuntansi X tanggal 26-28 Juli 2007 di Makassar. Judul Makalah: Menggagas Laporan Arus Kas Syari’ah Berbasis Ma’isyah, oleh Aji Dedi Mulawarman
6. Orasi Ilmiah Wisuda Universitas Cokroaminoto Jogjakarta 12 September 2007. Judul Makalah: Ekonomi Islam Dalam Bingkai Pemikiran HOS Tjokroaminoto, oleh Aji Dedi Mulawarman
7. The 1st Accounting Conference Universitas Indonesia. 7-9 Nopember 2007. Judul Makalah: Menggagas Neraca Syari’ah Berbasis Maal: Kontekstualisasi Kekayaan Altruistik Islami, oleh Aji Dedi Mulawarman. Mendapat Best Paper Awards. Masuk dalam Jurnal Akuntansi Keuangan Indonesia (JAKI) FE-UI, Depok.
8. Simposium Nasional Ekonomi Islam 3 Universitas Padjadjaran Bandung. 14-15 Nopember 2007. Judul Makalah: Menggagas Laporan Keuangan Syari’ah Berbasis Trilogi Ma’isyah-Rizq-Maal, oleh Aji Dedi Mulawarman
9. Pemakalah Terbaik (Best Paper) Simposium Nasional Akuntansi IX tanggal 23-26 Agustus tahun 2006 di Padang. Judul Makalah: Rekonstruksi Teknologi Integralistik Akuntansi Syari’ah: Shari’ate Value Added Statement (ditulis bersama Aji Dedi Mulawarman, Iwan Triyuwono, Unti Ludigdo) Masuk dalam Jurnal Akuntansi Keuangan Indonesia (JAKI) FE-UI, Depok

Apabila ada yang perlu dikonfirmasikan mengenai artikel-artikel tersebut silakan menuliskan di komentar...

Jumat, 16 November 2007

JEBAKAN KEBUDAYAAN: HEGEMONY AND POWER?

JEBAKAN KEBUDAYAAN KITA: HEGEMONY AND POWER?
Oleh: Aji Dedi Mulawarman


Mengapa selalu terjadi kontradiksi perhitungan suara setiap kali diadakan pilkada? Mengapa selalu terjadi kontradiksi agenda ujian akhir nasional? Kontradiksi kebijakan konversi migas nasional? Kontradiksi pembangunan mall-mall di kota besar? Kontradiksi persetujuan RUU menjadi UU? Kontradiksi Al Qiyadah Al Islamiyah? Kontradiksi bank syari'ah itu syari'ah atau tidak? Kontradiksi tanah adat itu punya hak atau pengusaha yang memiliki SK penambangan/HPH lebih berhak? Bahkan kontradiksi perlu dipenjara atau tidak yang katanya Roy Marten itu “hanya korban narkoba”? Konktradiksi-kontradiksi di negara kita tercinta ini, bila diamati setiap hari terjadi di hampir seluruh kebijakan hubungannya dengan kepentingan publik.
Banyak pandangan, melihat realitas seperti ini sebagai perjalanan menuju demokratisasi publik. Banyak juga yang melihat realitas seperti itu sebagai ketidakdewasaan masyarakat dan pengelola kebijakan publik. Bahkan ada yang melihat realitas seperti itu ditunggangi kepentingan maupun interaksi antroposentristik, kelompok, pengusaha, politisi atau pressure group lain. Ujung-ujungnya semua berkeinginan menuju kesepakatan musyawarah-mufakat yang diagendakan bersama. Hasilnya? Belum tentu sesuai tujuan ideal demokrasi, suara rakyat suara Tuhan. Yang sering terjadi malah, suara rakyat suara bayaran.
Jadi? Apakah benar kita sedang menuju demokrasi publik? Apakah benar kita sedang menuju pendewasaan masyarakat maupun penyelenggara negara? Apakah benar kita sedang menuju pengendalian terselubung oleh pressure group?
Bila ditarik lebih jauh, terdapat tiga kata kunci, demokrasi, pendewasaan bernegara dan pressure group. Bisa saja terdapat kata kunci lainnya. Bisa saja terdapat argumen lain di luar tiga kata kunci tersebut, tetapi sepanjang yang diketahui secara umum dan menjadi hipotesis dominan menurut penulis ya tiga kata kunci itu. Tiga kata kunci tersebut pula sebenarnya merupakan realitas kesejarahan di muka bumi ini. Termasuk di Indonesia. Meskipun terdapat istilah atau simbol-simbol lain sesuai jamannya. Interaksi, kontradiksi, tarik menarik kepentingan, semua terjalin dalam tiga kata kuci tersebut.
Terus, kenapa kita, Indonesia, tidak pernah berhasil menggapai keselarasan atas tiga kata kunci tersebut? Padahal, masih menurut pengamatan penulis, setiap negara ketika berhasil menyelesaikan masalah atas tiga kata kunci tersebut, maka negara akan mengalami kemajuan dan kebesarannya. Kita lihat sejarah negara-negara yang berhasil leading sebagai negara maju, pasti telah dapat melakukan “manajemen” tiga kata kunci tersebut. Amerika Serikat, Negara-negara Eropa, Jepang, Cina, Korea Selatan, Singapura, dan lainnya. Kesimpulannya? Tiga kata kunci tersebut harus di-manage sedemikian rupa, dan negara berhasil menggiring menuju kemajuannya. Apakah itu juga benar?
Tapi jangan lupa, ternyata negara-negara tersebut sebenarnya tidak menyelesaikannya. Manajemen tiga kata kunci tersebut ternyata digiring pada interaksi lintas negara. Negara-negara tersebut meng-ekspor tiga kata kunci menjadi kata kunci untuk berhadapan dengan negara lainnya. Untuk apa? Inilah yang disebut “Hegemony and Power”. Ya, kesatuan dari dua kata itulah yang mungkin penting dan merupakan perasan dari tiga kata kunci, demokrasi, pendewasaan bernegara, dan pressure group. Setiap negara maju sebenarnya berhasil melakukan “trick and trap” tiga kata kunci menjadi “weapon” untuk menggapai “hegemony and power”. Hegemony politik, ekonomi, sains dan teknologi, dan apapun yang mungkin, atas ratusan negara yang pasrah, gamang maupun menentang. Power regulasi internasional dan pencitraan media, sosial dan apapun yang mungkin atas ratusan negara yang pasrah, gamang maupun menentang.
“Hegemony and Power”, bila kita amati, saat ini telah memasuki relung demokrasi, pendewasaan bernegara dan pressure group di tiap negara yang pasrah, gamang maupun menentang. Akankah itu berlanjut? Apakah Indonesia telah pula larut dalam ketidakberdayaan Hegemony and Power dari luar? Sedemikian parahkah kondisi kita?
Mungkin benar, mengapa Sudjatmoko sejak lama mengingatkan kita untuk membangun kemandirian budaya kita sendiri, Itu pulalah yang dilakukan oleh Jepang saat Restorasi Meiji dengan program membangun kembali peradaban dan budaya mereka menghadapi modernisasi; Cina dengan Program Tirai Bambunya untuk menghadapi Globalisasi dan Neoliberalisme, dan lainnya.
Tetapi semuanya itu hanya program menghadapi perubahan dan kita larut di dalamnya, bercengkerama serta menjadi bagian untuk menegakkan “Hegemony and Power”. Selanjutnya, melakukan intervensi dan penindasan pada setiap wilayah yang diperlukan untuk menegakkan harga diri serta langgengnya “Hegemony dan Power”.
Atau ada jalan lain yang lebih altruistik? Ya mungkin kita perlu melakukan seperti dicontohkan Muhammad saw., melakukan hijrah dan mendeklarasikan Piagam Madinah untuk membangun Peradaban berusia 1000 tahun penuh kesetaraan dan keberkahan. Bukannya hegemony dan power. Wallahua'lam.

Singosari, 15 Nopember 2007