Minggu, 12 April 2009

PEMILU BIKIN KEIMANAN RASA BABI?: SIMULAKRUM KYAI DAN MUSLIM

PENGANTAR


Pengalaman penulis mengikuti pemilu 2009 meski bukan sebagai caleg, akhirnya mendapatkan frustrasi masa depan politik yang menyedihkan.  Kesimpulan penulis bahwa realitas politik kita memang sekuler terbukti. Islam sudah jadi simulakrum pikiran dan perbuatan. Simulakrum seperti dijelaskan oleh Baudrillard sebagai kenyataan yang ada di dunia ini adalah kenyataan yang tak terdefinisi lagi. Realitas yang ada adalah bentuk2 simulasi tak konkrit. Donald duck misalnya, merupakan simulasi dari bebek, padahal kita tahu donald duck bukanlah bebek, tapi simulasi kartun berbentuk bebek. Donald duck tidak pernah ada di realitas, hanya ada di media televisi, video maupun komik DIsney. Jadi, kalau bisa kita metaforakan, keislaman dalam pemilu sekarang ini, seorang caleg yang kebetulan kyai sekarang ini bukanlah kyai yang pernah ada dalam sejarah. Kyai atau Muslim sekarang dalam konteks Pemilu telah berubah menjadi Donald duck - Donald duck baru, simulasi-simulasi baru orang-orang Islam dalam perpolitikan Indonesia.

 

POLITIK KYAI DAN MUSLIM SEBELUM ERA REFORMASI

Perbedaan mencolok politik Islam dari politikus muslim dan para kyai di Indonesia tahun 2009 dan pemilu "80-an ke bawah dapat dilihat dari kepentingan politikus dan masyarakatnya. Ketika tahun 1980-an masyarakat mendapatkan pressure politik era Orde Baru, penguatan orientasi "guyub" masyarakat yang diwakili oleh para politikus menjadi kentara. Politikus saat itu adalah bagian dari perjuangan mempertahankan prinsip, mempertahankan eksistensi Islam dan perjuangan menegakkan "izzul Islam wal Muslimin" sebagai keseluruhan pandangan hidup termasuk dalam bidang politik.  Di era itu jelas sekali sosok manusia kyai dan politikus muslim sebagai representasi politik Islam. Perlawanan yang dilakukan adalah bebas dari tekanan kekuatan politik orde baru yang mencengkeram kebebasan politik masyarakat Indonesia. Uang bukan didapatkan dari politikus untuk menyebarkan "bisyaroh" kepada masyarakat. Tetapi "shadaqah" dari masyarakat bertebaran untuk mendukung keterwakilan masyarakat Muslim di panggung politik. Masyarakat berlomba-lomba menyumbangkan rejeki yang didapatkannya untuk mendukung wakil-wakilnya untuk menyuarakan aspirasi "yang terbungkam" oleh kekuasaan otoriter. Jadi "bisyaroh" jelas-jelas tidak berfungsi sebagai dana perjuangan. Bahkan para kyai yang masih idealis akan melakukan "shadaqah berjamaah".

Berbeda dengan para kyai di partai represif memang memiliki pointers "terselubung" yang memanfaatkan politik untuk kepentingan ketentraman "bashiro" komunitasnya.Dalam hal ini memang dimungkinkan orientasi politik kyai tidak menempatkan dirinya pada posisi yang ambigu. Saya rasa strategi politik yang diambil adalah untuk mengamankan kepentingan "Jam'iyyah" agar tak tersudut bahkan tergeser sebagai akibat lanjutan serangan kaum nasionalis atas "Idealisme Jam'iyyah" yang berani berseberangan dengan kekuatan otoriter saat itu. Prinsipnya adalah Islam sebagai "ummatan wasathan" harus tetap nampak dalam situasi politik saat itu.

POLITIK KYAI DAN MUSLIM DI ERA REFORMASI

Kondisi era sebelum Reformasi menjadi terbalik dan bahkan ambigu ketika Reformasi menjadi pilihan masyarakat Indonesia. Keran demokrasi begitu hiruk pikuk melanda hampir seluruh kepentingan masyarakat saat ini. Termasuk di dalamnya adalah politik Muslim dan para Kyai. Ambiguitas tersebut kemudian mengembangkan "varietas politik" baru yang belum pernah ada dalam sejarah perpolitikan Muslim Indonesia. Ambiguitas menjadi Simulakrum-simulakrum baru Kyai dan Muslim Indonesia. Sekarang sudah tidak ada lagi politik "perlawanan" sebenarnya. Politik "perlawanan" sekarang telah berubah wujud menjadi rivalitas dan oposisi politik yang masuk dalam koridor ilmu politik modern. 

Tak ketinggalan para kyai dan politikus Muslim telah berubah wujud menjadi pembawa bendera politik era "neoliberalisme" yang bebas dan tak tersekat dalam bentuk perlawanan ideologis. Perlawanan ideologis menjadi "simbol" atau "sign" baru. Sign Simulakra Politik Muslim Indonesia baru. Para Kyai dan politikus Indonesia akan terlegitimasi secara politis apabila mereka dapat menyediakan dan menggerakkan emosi para kader partai sehingga mesin partai berjalan normal. Uang dalam koridor politik modern memang sebagai salah satu syarat mutlak. Seperti diketahui, kemenangan politik dalam "koridor politik modern" diukur dari keluasan jaringan, kemampuan politikus dalam mengemas ide untuk kepentingan rakyat, dan yang paling penting semuanya harus di-"drive" oleh dana yang cukup (baca: uang). 

Jadi, kalau logika uang adala sebagai salah satu motor penting politik modern, maka tidak ada lagi keikhlasan politik, yang ada adalah bagaimana para politikus Muslim dan para Kyai memberi "bisyaroh" kepada para konstituen dan simpatisannya demi suara kemenangan partai politik peserta pemilu. Tidak ada lagi dikotomi politikus Muslim dan Kyai "Idealis" dan "Strategis". Politikus Muslim dan Kyai bisa berada di mana-mana dan kemana-mana sesuai dengan kepentingan yang terjalin berkelindan antara partai, masyarakat dan calegnya. Hilanglah suasana idealis yang diwujudkan dalam bentuk "shadaqah" simpatisan ataupun konstituen untuk mendukung partai yang memperjuangkan "izzul Islam wal Muslimin". Yang ada tinggallah bagaiman para politikus Muslim dan Kyai Politik bisa menyediakan "bisyaroh" masa sosialisasi, masa kampanye, bahkan sampai masa tenang (yang kemudian jadi wadah efektif melakukan gelontoran uang "bisyaroh" untuk kepentingan masyarakat). Kyai sudah tidak malu-malu lagi untuk menyeberang dari partai yang dulunya "sangat pragmatis nasionalistik" ke partai yang "idealis" karena segalanya sudah berubah. Partai tidak lagi merepresntasikan kepentingan masyarakatnya, tetapi partai dibuat untuk menyalurkan sumbatan aspirasi elitis dan kemudian menggunakan kekuatan jaringan mereka untuk mendapatkan posisi/kursi politik di dewan perwakilan rakyat (baik daerah, propinsi sampai pusat). 

Yang kasihan adalah politikus idealis, jadi bahan fitnah dan cemoohan, ketika mereka tidak mau meskipun sebenarnya sanggup untuk melakukan "money politik model bisyaroh" di masa kampanye sampai masa tenang yang biasanya disebut "serangan fajar". Para politikus dan kyai idealis seperti itu sebenarnya juga mendapatkan dukungan luas, tetapi menjadi bulan-bulanan ketika para politikus "kutu loncat" dan "pragmatis" Muslim atau bahkan Kyai Politik melakukan fitnah tidak dewasa dan melakukan "money politics". 

 

PENUTUP

Karena sudah tidak jelas lagi mana yang minyak samin dan mana minyak babi, maka yang terjadi kemudian baik politikus Muslim dan Kyai Politik melakukan praktik "dagang babi" yang jelas-jelas dianggap halal asal tetap dalam koridor tujuan akhirnya, menguasai "parlemen" untuk berjuang atas nama Islam. Jadi apakah yang kita dukung itu politikus Muslim dan Kyai Politikus Simulakrum atau politikus Muslim dan Kyai Politik yang masih mengedapankan idealisme untuk membangkitkan perjuangan "izzul Islam wal Muslimin"?

Jadi, ketika kyai dan politikus muslim yang "haus" kekuasaan masih ingin dipilih dari hasil "bisyaroh untuk masyarakat" dan menanggalkan "bashiro"-nya, maka hancurlah dunia politik Islam yang diidamkan. wallahu'a'lam

Itulah Simulakrum Keimanan Politik..