Senin, 31 Desember 2007

Bapak Presiden: Apakah Kita Perlu Belajar dari Benazir Bhutto?

Budaya Lembut Indonesia: Belajar dari Benazir Bhutto atau dari budaya kita sendiri?

Tulisan ini sebenarnya sudah pernah saya posting di http://ajidedim.wordpress.com tanggal 29 Desember 2007. Semoga masih belum basi karena dalam seminggu ini headline di media nasional banyak memberitakan makin parahnya pemimpin Orde Baru, Soeharto. Di sisi lain para politisi mulai gencar dan "genit" mempromosikan dirinya untuk menjadi calon presiden 2009-2014.

Maksud utama tulisan ini sebenarnya ingin memberi masukan atas relevansi "kekhawatiran" Bapak Presiden kita, dampaknya pada perpolitikan nasional, dengan terjadinya tragedi pembunuhan Benazir Bhutto. Mempertanyakan relevansi di sini dihubungkan dengan budaya Indonesia yang berbeda dengan budaya Pakistan


We need learn more about our "sweet culture", that called Indonesian indigenous culture, not "hard culture" from another culture...

Apakah Indonesia perlu belajar dari fenomena kekerasan politik Pakistan? Pertanyaan yang menggelitik juga. Seperti diketahui bersama, 27 Desember 2007 terjadi tragedi politik berdarah di Pakistan. Tragedi terbunuhnya Benazir Bhutto pada saat proses demokrasi di negara tersebut sedang dilangsungkan. Jelas sekali terlihat dampak demokrasi dalam bentuknya yang paling vulgar, yaitu Kekerasan.More...

Tak ayal, presiden Susilo Bambang Yudhoyono, setelah melakukan "ritual formalitas politik luar negerinya" berupa ucapan bela sungkawa, seperti dirilis dalam berita singkat di Metro TV tanggal 28 Desember 2007, mengeluarkan statement kekhawatiran. Statement terutama ditujukan kepada kepolisian dan intelejen agar belajar mengenai tragedi pembunuhan Benazir Bhutto.

Pertanyaannya, apakah Indonesia akan sampai ke sana? Apakah demokrasi Indonesia memang memiliki tradisi "kekerasan"?

Menilik perkembangan politik kekuasaan di Indonesia, hal tersebut sepertinya belum pernah terjadi secara vulgar. Pemilu kita seberapa kerasnya, bila dilihat dari tradisi sejarah, tidak pernah sampai pada titik mengkhawatirkan seperti itu. Setiap presiden terpilih maupun mantan presiden, sampai detik ini "aman-aman" saja. Bahkan Soeharto, yang jelas-jelas memiliki "dosa sejarah", dalam pandangan para politisi, penguasa maupun gerakan oposan, sampai rakyat, tetap memposisikan beliau sebagai mantan pemimpin Indonesia. Seberapa buruk "prestasi"-nya.

Artinya, bila dilihat dari kacamata budaya, Insya Allah bila kita masih memegang teguh, demokrasi ala Indonesia tidak akan pernah mengarah pada perebutan power dan hegemony dalam bentuk "kekerasan paling vulgar". Budaya Melayu dan Jawa yang dominan dalam alam pikiran atau disebut Pierre Bourdieu sebagai habitus, tetap akan mendudukkan perebutan power dan hegemony yang lebih "lembut". Model Power dan Hegemony Halus ala budaya Indonesia yang lembut tidak akan pernah bergerak menuju "transisi" dan bersegera menjadi "kekerasan" apabila para pemimpin kita, para penguasa, para politisi, masih juga memiliki pola budaya yang sama dengan rakyatnya. Pola "budaya lembut".

Pola "budaya lembut" jelas pula berbeda dengan "budaya keras". Pola budaya lembut selalu mengedepankan "consiousness" dan "awareness" terhadap diri, sosial dan lingkungannya. Artinya, budaya lembut tidak hanya berpikir tentang "consiousness" dan "awareness" dirinya sendiri. Karena pola berpikir tentang dirinya sendiri berakar pada karakter egoistik dan anthroposentris. Ketika hanya diri sendiri sebagai pusat pembuatan kebijakan berbangsa dan bernegara, maka yang terjadi adalah persetujuan, misalnya pada bentuk, (1) perekonomian liberal yang meminggirkan kepentingan ekonomi rakyat, (2) pertanian yang mengedepankan industri besar dan intermediasi pangan yang menggeser peran rakyat, (3) posisi sosial yang strategis berada pada lingkaran kekuasaan dan meminggirkan peran serta demokrasi yang sebenarnya, (4) pemutarbalikan hukum untuk kepentingan kelanggengan kekuasaan tertentu, (5) penjarahan sumber daya alam besar-besaran oleh alat-alat berat dan modal-modal besar, dan lain sebagainya. Ujung atau dampak "consiousness" dan "awareness" untuk kepentingan diri sendiri adalah, pusat-pusat sosial, ekonomi, politik, dan lainnya hanya dimiliki oleh segelintir orang dan meminggirkan kepentingan besar rakyat. Ujung-ujungnya pula adalah kemarahan lingkungan alam, seperti yang terjadi sekarang, ketika musim hujan banjir dimana-mana, ketika musim kering kebakaran hutan dimana-mana.

Budaya lembut dengan demikian harus mengedepankan "consiousness" dan "awareness" di luar dirinya, yaitu sosial (rakyat) dan lingkungan (alam). Mudahnya, penguasa harus tetap mengedepankan "consiousness" dan "awareness" untuk kepentingan rakyatnya dan alam. Operasionalisasi budaya lembut pengambil kebijakan adalah arif dan mengedepankan agenda "konkrit" untuk kepentingan rakyat yang berhati nurani lengkap, dan bukan ekonomi, sosial, politik rakyat dengan syarat. Misalnya, Ekonomi rakyat ya ekonomi untuk kepentingan rakyat, sedangkan ekonomi liberal harus menjadi marginal, dan bukan sebaliknya.

Mungkin kita perlu belajar banyak dari tradisi luhur kita sendiri, seperti misalnya saja, Poros Imajiner Keraton Yogyakarta. Poros Imajiner melambangkan keseimbangan sosial, ekonomi, politik, budaya dalam trilogi kemanusiaan, yaitu akuntabilitas Tuhan (vertikal), Manusia-Alam (horisontal). Poros Imajiner dilambangkan dengan pembangunan keraton Yogyakarta dalam garus lurus Gunung Merapi, Tugu, dan Laut Selatan. Lurusnya letak diri (keraton) terhadap alam (gunung dan laut), sosial (tugu dan jalan malioboro) merupakan simbol dari kesatuan diri penguasa dengan realitas sosial dan lingkungan. Poros tersebut untuk memberikan pengingat horisontal bagi Sultan ketika berpikir dan melakukan tindakan harus selalu menilik dalam "poros" disertai ketundukan vertikal pada Allah SWT. Bagaimana bentuk lanjutnya? Ya gimana ya... :) Semoga...Barakallah...

Sabtu, 29 Desember 2007

http://ajidedim.wordpress.com

assalamualaikum wrwb
bapak-ibu sekalian, apabila mau melihat blog saya lainnya yang berbicara di luar akuntansi syari'ah silakan akses ke:

http://ajidedim.wordpress.com.

wasssalam

Minggu, 16 Desember 2007

KRITIK MARKET SHARE 5% BANK SYARI'AH

TARGET 5% BANK SYARI’AH: Untuk Mashlaha?[1]
Oleh: Aji Dedi Mulawarman


Abstraksi
Artikel ini mencoba mengkritisi akselerasi perkembangan perbankan syari’ah nasional agar mencapai market share 5%. Kekhawatiran bermunculan dari berbagai kalangan bahwa tahun 2008 perbankan syari’ah nasional tidak memenuhi target market share 5% dari total aset perbankan nasional sesuai Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syari'ah Indonesia. Untuk mempercepat hal tersebut BI menetapkan Kebijakan Akselerasi Perkembangan Perbankan Syari’ah 2007-2008.
Dampak akselerasi perkembangan perbankan syari’ah, bila dilihat lebih lanjut memunculkan masalah-masalah baru. Pertama, meningkatnya NPF yang mencapai 6,2% per September 2007 (lebih tinggi dari prosentasi NPL perbankan konvensional). Kedua, tidak memiliki upaya genuine pengembangan produk perbankan syari’ah. Ketiga, masalah kedua merupakan dampak hilangnya sense melakukan identifikasi core competencies unique bank syari’ah yang mengusung nilai-nilai Islam Indonesia (universal sekaligus lokal). Keempat, penegasan pentingnya kuantitas dalam program akselerasi menggeser kepentingan kualitas perbankan syari’ah.
Diperlukan pembenahan mendasar mengenai Cetak Biru dan Program Akselerasi Pengembangan Perbankan Syari’ah. Pertama, hendaknya visi pengembangan sesuai maqashid asy syari’ah, yaitu mashlaha, kesejahteraan ummat yang hakiki, yang menekankan harmoni dan keseimbangan produksi-intermediasi-retail sesuai ushwah model ekonomi Rasulullah. Kedua, agar visi sesuai maqashid asy syari’ah diperlukan reorientasi diri yang berpijak pada ditemukannya core competencies. Ketiga, pengembangan produk perbankan syari’ah hendaknya sesuai dengan core competencies sehingga memunculkan karakter genuine perbankan syari’ah ala Indonesia. Keempat, perlunya dikembangkan produk qardh yang tetap mengedepankan prinsip produktif dan bukannya untuk kepentingan konsumtif. Kelima, perlunya regulasi Bank Indonesia berkenaan prioritas pengembangan produk muzara’ah dan musaqah bagi kalangan perbankan syari’ah. Keenam, peningkatan market share tetap mementingkan kuantitas maupun kualitas dan tidak didasari prioritas ”kompetitif” dan ”efisiensi”, tetapi mementingkan harmoni dan mashlaha sebagai tujuan utama perbankan syari’ah.


Keyword: Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syari’ah, Harmoni, Mashlaha, Core Competencies.


1. PENDAHULUAN
Pengembangan pemikiran lanjutan finance dalam perspektif Islam saat ini sangat diperlukan sebagai landasan mengimplementasikan bisnis sesuai prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Hal ini penting mengingat perkembangan keuangan berbasiskan Islam, seperti perbankan syari’ah di dunia, telah menunjukkan prestasi luar biasa. Bulan Juli tahun 2004 Islamic Capital Market Task Force dari The International Organization of Securities Commissions (IOSCO) merilis Islamic Capital Market Fact Finding Report. Menurut laporan tersebut, sampai dengan akhir tahun 2003, telah terjadi pergeseran signifikan dalam perkembangan keuangan Islam, pengembangan lembaga bukan hanya Bank Islam saja, tapi telah merambah asuransi Islam (takaful), perusahaan investasi Islami, perusahaan manajemen asset, e-commerce, broker/dealer, dan lainnya.
Perkembangan perbankan syari’ah di Indonesia juga tak ketinggalan. Terobosan-terobosan telah banyak dikeluarkan. Setelah fatwa tentang bunga bank haram oleh MUI, misalnya dikeluarkan fatwa produk kartu kredit syari’ah yang masih memicu kontroversi. BI juga telah mengeluarkan kebijakan melalui Direktorat Perbankan Syariah, diantaranya office chanelling bagi bank konvensional yang telah membuka Unit Usaha syariah (UUS) untuk memberikan pelayanan transaksi syariah bagi masyarakat luas.
Berdasarkan catatan Statistik Perbankan Syari’ah yang diterbitkan BI sampai dengan Oktober 2007 telah ada 3 bank umum syariah, 25 Unit Usaha Syariah (UUS), 555 kantor cabang syariah dan 111 BPRS. Belum lagi lembaga keuangan mikro syariah atau Baitul Mal wa Tamwil (BMT) yang tersebar hampir di setiap propinsi.
Bagi kita semua umat Islam usaha seperti itu seharusnya patut disyukuri dan menjadi kebanggaan bersama. Keberhasilan perbankan syari'ah, dapat menjadi salah satu contoh keberhasilan penerapan syari'ah Islam dalam ber-muamalah. Tetapi, menurut Ali (2007) keberhasilan tidak diimbangi dengan market share industri perbankan syariah di Indonesia. Hal tersebut lanjutnya pasti memiliki masalah krusial dalam pengembangan perbankan syariah.
Tahun 2008 bagi perbankan syari’ah nasional mungkin berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Kerja keras memenuhi target market share 5% dari total aset perbankan nasional merupakan implementasi Visi Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syari'ah Indonesia. Kekhawatiran target pangsa pasar 5% tidak tercapai memang menjadi pemikiran kalangan pemerintah, praktisi, pemerhati, peneliti maupun akademisi perbankan syari'ah. Menurut catatan statistik perbankan syari'ah BI, target pangsa pasar per September 2007 sebenarnya naik sebesar 0,18% dari periode yang sama tahun sebelumnya (tahun 2006 mencapai 1,58%) yaitu 1,72%.
Untuk mempercepat hal tersebut BI menetapkan Kebijakan Akselerasi Perkembangan Perbankan Syari’ah 2007-2008. Yang patut dicermati dari kebijakan akselerasi tersebut antara lain adalah percepatan pembukaan kantor cabang bank syari’ah asing, spin-off Unit Usaha Syari’ah perbankan konvensional (BUK) menjadi syari’ah (BUS), go public perbankan syari’ah, penerbitan subordinated debt, efisiensi (kemudahan) proses perijinan produk, pengembangan instrumen pasar keuangan, penawaran jasa bank syari’ah kepada pemerintah, BUMN dan BUMD, serta penyelesaian RUU Perbankan Syari’ah dan RUU Sukuk Negara.

2. APAKAH ITU CUKUP?
Secara umum, program akselerasi pengembangan perbankan syari’ah 2007-2008 untuk memenuhi target 5% bila dilihat lebih dapat dikatakan sangat komprehensif. Meskipun, bila diteliti lebih lanjut, apakah hal tersebut rasional? Apakah akselerasi menjadi kemustian? Apakah akselerasi dapat memberikan kepastian untuk meningkatkan dan memberdayakan sektor riil secara nyata? Apakah tidak diperhitungkan dampak “terjungkal dari lari sprint” terhadap simbol “syari’ah” yang disandang oleh perbankan syari’ah? Mengapa harus lari, kalau sebagaimana diingatkan oleh Qur’an, bahwa segala sesuatu harus dijalani dengan sabar?
Dampak akselerasi perkembangan perbankan syari’ah, bila dilihat lebih lanjut memunculkan masalah-masalah baru. Masalah pertama, masalah pembiayaan macet. Penilaian kinerja pembiayaan biasanya diukur dengan Non Performing Financing (NPF) atau yang biasa disebut dalam istilah perbankan konvensional dengan Non Performing Loan (NPL). NPF perbankan syari’ah tahun 2007 memang mengalami kenaikan yang signifikan bila dibanding dengan tahun 2006. Menurut data statistik perbankan syariah BI per September 2007 menunjukkan NPF 6,29%, turun dibandingkan periode Agustus 2007 sebesar 6,63%. Kendati demikian, angka tersebut lebih tinggi dibandingkan September 2006 sekitar 5,13%. Mulya Siregar dari DPbsBI, menjelaskan bahwa tingginya NPF Bank Syariah, antara lain disebabkan
Perbankan Syariah tengah menjajagi sejumlah sektor pembiayaan baru. Sektor baru tersebut dikenal sebagai sektor korporasi, diantaranya mencakup pembiayaan manufaktur, infrastruktur dan properti . Di sisi akad, Perbankan Syariah tengah meningkatkan pembiayaan dengan akad non murabahah (non jual beli), seperti mudharabah atau bagi hasil. Sebelumnya Perbankan Syariah hanya melaksanakan pembiayaan non korporasi dan saat itu NPF paling tinggi berada pada level 4,2 -4,3 %. Pola pengembangan bisnis model lama kurang optimal dalam perkembangan industri Perbankan Syariah. Oleh karena itu Perbankan Syariah masih belajar, dan ini yang membuat NPF meningkat. Dan ini harus dilalui, agar kedepan Perbankan Syariah memperoleh pengalaman yang lebih baik
[2].
Masalah kedua, berkenaan dengan pengembangan produk. Seperti dijelaskan di atas, MUI telah mengeluarkan fatwa baru mengenai produk kartu kredit syari’ah. Bisnis kartu kredit
[3] yang kian marak ternyata juga menggoda dunia perbankan syariah. Meski menimbulkan pro dan kontra di tengah hiruk pikuknya dunia konsumtif, kredit macet dan penumpukan beban utang, kalangan perbankan syariah akhirnya memberanikan diri meluncurkan kartu kredit syariah[4]. Sebenarnya, terdapat masalah mendasar (di samping kecenderungan suka ”menerobos” demi kepentingan market share yang dilakukan kalangan perbankan syari’ah) dalam penerbitan kartu kredit tersebut. Misal diusulkan Mulawarman (2007d) berkenaan penggunaan qardh. Qardh sebenarnya lebih dekat dengan mekanisme pembiayaan produktif, tetapi sekarang malah diarahkan pada pola konsumtif. Pertanyaannya kemudian, mengapa pengembangan produk hanya diarahkan untuk mengadopsi produk ”tetangga” (baca: perbankan konvensional) dan tidak mengedepankan produk yang lebih genuine syari’ah? Menarik kritik dari Faisal Basri, pengamat ekonomi UI saat berbicara di Indonesia Syari’ah Expo 28 Oktober, terhadap target market share. Menurutnya perbankan syari’ah tidak akan dapat menembus angka 5% kalau masih tidak memiliki kreativitas atas produk sesuai market bank syari’ah sendiri. Masalahnya, menurut penulis bukan pada core product saja, tetapi lebih dari itu.
Masalah ketiga, tidak kreatifnya bank syari’ah melakukan pengembangan produk, diakibatkan masalah mendasar perbankan syari’ah. Masalah tersebut seperti dikatakan Mulawarman (2007c) sebagai hilangnya sense untuk melakukan identifikasi kompetensi inti (core competencies). Perbankan syari’ah sampai sekarang belum dapat mengidentifikasi keunikan dirinya, bank syari’ah yang mengusung nilai-nilai Islam dan ada di Indonesia. Bank syari’ah selama ini hanya dapat melakukan identifikasi core product. Padahal bila dilihat dari konsep bisnis, core competencies merupakan "jantung" organisasi atau perusahaan, sedangkan produk merupakan implementasi dari core competencies tersebut untuk menghasilkan nilai tambah organisasi bisnis. Core competencies perlu didesain melalui kejelasan visi dan misi organisasi. Sehingga konsekuensi logisnya pengembangan kompetensi bisnis, produk sampai sumber daya yang muncul mengarah pada core competencies. Core competencies yang khas bank syari’ah tetapi tidak menghilangkan akarnya, yaitu Islam Indonesia.
Prahalad dan Hamel (1994) mendefinisikan kompetensi inti sebagai suatu kumpulan keahlian dan teknologi yang memungkinkan suatu organisasi memiliki positioning agar memberi manfaat lebih efektif untuk pelanggan. Organisasi mempunyai kompetensi yang perlu (necessary competencies) dan kompetensi yang membedakan (differentiating competencies)
[5]. Dalam jangka pendek, lanjut Prahalad dan Hamel (1990), kemampuan kompetitif perusahaan dikendalikan oleh atribusi kinerja/harga. Tetapi perusahaan yang tangguh di era kompetisi global ditegaskan tingkat kompetitif perlu menekankan pada differential advantage. Berikut penjelasannya:
…are all converging on similar and formidable standards for product cost and quality – minimum hurdles for continued competition, but less and less important as sources of differential advantage.

Sedangkan jangka panjang, kemampuan kompetitif dikendalikan pada kemampuan untuk mengembangkan core competencies. Kompetensi inti di sini lebih mengedepankan:
Management ability to consolidate corporatewide technologies and production skills into competencies that empower individual business to adapt quickly to changing opportunities.

Mudahnya, kompetensi inti atau core competencies, pertama, dalam jangka pendek memang memiliki sesuatu keunggulan yang dimiliki perusahaan disertai kemampuan produk; kedua, dalam jangka panjang dikembangkan untuk konsolidasi dengan kesamaan visi-misi organisasi yang kuat; ketiga, memerlukan kemampuan dan ketangguhan dari para penggiat organisasinya. Artinya, kebutuhan setiap organisasi melakukan bisnis tidak hanya mementingkan differential advantage, karena hal itu hanya bersifat jangka pendek dan lebih berorientasi pada produk. Organisasi bisnis agar dapat menjalankan going concern dan kuat bertahan pada lingkungan yang selalu berubah, diperlukan core competencies yang memiliki keunggulan visioner serta kemampuan “collective learning” para penggiat organisasinya. Kata kunci core competence agar dapat menjalankan peran going concern dan adaptif, adalah pada “harmonizing streams of technology” dan “decisively in services”.
Masalah keempat, tergesernya kepentingan kualitas perbankan syari’ah karena mementingkan kuantitas. Hal ini bahkan diakui dalam Kebijakan Akselerasi secara tegas. Semua demi market share 5%. Bentuk penegasian pentingnya kualitas perbankan syari’ah hendaknya tidak didasari prioritas ”kompetitif” dan ”efisiensi” seperti tertulis dalam visi misi pengembangan perbankan syari’ah yang tercantum dalam Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syari’ah Indonesia.
Bentuk kompetisi dan efisiensi bisnis seperti itu jelas berhubungan dengan kepentingan pemilik modal saja, baik ekuitas maupun bottom line laba, dan tidak untuk kepentingan masyarakat secara langsung. Kompetisi dan efisiensi yang terlalu progresif akan mendekatkan gaya khas kapitalisme baru, yaitu neoliberalisme. Contoh, menggiring perbankan syari’ah untuk segera melakukan IPO (Initial Public Offering) dan memperbanyak produk pasar keuangan. Langkah ini mungkin tepat dari sisi efisiensi, tetapi tidak efektif untuk meningkatkan kemaslahatan masyarakat secara langsung, dan bahkan menggiring bank syari’ah lebih progressif meningkatkan ekuitas hanya untuk bank.

3. MEMBANGUN PERBANKAN SYARI’AH: LEWAT MANA?
Bank Syari’ah sudah saatnya melihat kembali peringatan Umer Chapra. Peringatan bukan diletakkan hanya di bagian filosofi, tetapi harus masuk dalam model visi-misi perusahaan, bahkan masuk dalam visi-misi perbankan syari’ah yang dikembangkan oleh BI. Chapra (2000, 12) menjelaskan bahwa perekonomian sebagai ilmu dan strategi Islam untuk mencapai tujuan Islam, dengan terintegrasinya semua aspek kehidupan keduniaan dengan aspek spiritual (untuk menghasilkan suatu peningkatan moral manusia dan masyarakat dimana ia hidup) harus mengarah pada kesejahteraan. Islam mendorong manusia untuk menguasai alam dan memanfaatkan sumber-sumber daya yang disediakan oleh Allah bagi kepentingan manusia, namun juga mengingatkan agar jangan mementingkan satu aspek materi saja sehingga mengabaikan aspek spirituilnya. Bekerja keras untuk kesejahteraan material seseorang, keluarga dan masyarakat harus dibimbing dengan nilai-nilai spiritual. Menurut Chapra (2000, 14) tujuan Islam harus menciptakan keseimbangan yang sehat antara kepentingan individual dan masyarakat sesuai prinsip Nabi saw., “Janganlah menimpakan bahaya kepada orang lain dan jangan pula dia ditimpakan bahaya di atasnya”. Islam memiliki keunggulan nyata, bukan saja sasaran-sasaran integral dari ideologi Islam, tetapi juga strategi syariah tak terpisah.
Berdasarkan kesejahteraan untuk semua itulah kemudian konsep Tazkiyah menjadi konsep yang harus selalu hadir sebagai bagian dari ciri khas Islam. Usaha manusia memperoleh harta benda yang mencukupi kehidupannya merupakan jawaban terhadap panggilan dan tuntutan fitrah dan nafsunya yaitu cinta pada harta benda. Hal ini bukanlah penyimpangan dan bukan pula pengahalang untuk mencapai ridha Allah. Karena cinta harta merupakan fitrah sejak ia diciptakan namun manusia dalam memenuhi tuntutan nafsunya berkewajiban untuk menjaga batas-batas syari’at dan menggunakan cara yang disyari’atkan (lihat misalnya QS. 18: 46; 89: 20; 100: 8).
Tetapi, cinta harta menurut Mulawarman (2007a) harus diarahkan pada tiga hal. Pertama kecintaan harta sesuai maqashid asy-syari’ah untuk merealisasikan kemashlahatan dunia dan alam semesta sekaligus. Kedua, tugas (Khalifatullah fil ardh) dan pengabdiannya (abd’ Allah). Ketiga, fitrah kemanusiaan lainnya yang berlawanan dengan kecintaan harta yaitu kedermawanan. Ketiga hal itu hanya dapat terlaksana dengan jalan niat dan pensucian (tazkiyah) secara terus menerus (Ibrahim 2005; 99-102). Bentuk dasar pensucian terhadap kecintaan terhadap harta benda adalah ketakwaan (QS 3: 14-15).
Bila kita turunkan dalam konteks ke-Indonesia-an, bank syari’ah juga perlu melihat bahwa ekonomi jangan hanya diarahkan untuk kepentingan sempit seperti yang dijalankan ekonomi modern kapitalistik. Tujuan ekonomi seharusnya tidak sekedar terpusat misalnya pada pertumbuhan (growth), tetapi harus dapat mempertahankan struktur sosial dan budaya yang baik sesuai nilai-nilai Islam dan maqashid syari’ah.

4. REKOMENDASI MENDESAK
Perbankan syari’ah seperti dijelaskan di bagian pertama tulisan ini telah memberikan angin segar bagi kita semua untuk melakukan transaksi keuangan bebas bunga dan karenanya halal. Berbagai model telah diajukan berkenaan mekanisme transaksi sesuai syari’ah dan fiqh Islam. Transaksi komersial utama telah banyak dijalankan dengan berbagai modifikasinya. Tetapi transaksi perlu dikendalikan agar tidak hanya berorientasi ekuitas maupun bottom line laba an sich.
Dijelaskan Lewis dan Algoud (2001) bahwa penekanan transaksi-transaksi yang berorientasi ekuitas dalam perbankan syari’ah dipertanyakan beberapa sumber. Pergantian bunga yang ditetapkan sebelumnya (predetermined interest) dengan keuntungan yang tidak pasti (uncertain profits) tidaklah cukup untuk membuat transaksi menjadi Islami, karena keuntunganpun bias dan benar-benar sama eksploitatifnya dengan bunga, jika keuntungan itu berlebihan. Pemikiran mengenai pembiayaan rasa-rasanya perlu pengembangan alternatif tambahan lain, seperti perluasan mekanisme salaf atau qardh yang memang secara tradisional fiqh-nya lebih dekat dekan sistem pinjaman/pembiayaan. Qardh selama ini dipahami hanya sebagai sistem pembiayaan sosial (qardhul hassan) untuk UKM atau konsumtif seperti kartu kredit syari’ah. Padahal bila kita lihat lebih jauh landasan tradisi sosiologis qardh sebenarnya lebih dekat dengan sistem pinjaman yang jelas-jelas menerapkan keseimbangan keuntungan (profit) dan kepentingan sosial.
Sistem muzara’ah dan musaqah juga masih dilihat sebagai sistem pembiayaan khusus untuk pertanian saja. Apakah kita tidak pernah berpikir lebih jauh bahwa dua sistem tersebut lebih dekat dengan sistem investasi-produktif daripada sistem musyarakah atau mudharabah yang lebih dekat dengan sistem investasi-perdagangan. Apalagi sebenarnya bila ditilik dari sejarahnya, pendekatan muzara’ah dan musaqah lebih ditekankan oleh Rasulullah di masa awal Hijrah di Madinah (lihat misalnya Karim 2004a, 19; 2004b, 96-97). Langkah selanjutnya adalah melakukan penyeimbangan dengan sistem musyarakah maupun mudharabah. Sistem muzara’ah dan musaqah sebenarnya digunakan Rasul untuk menggiring pemikiran kaum Muhajirin agar lebih seimbang dan utuh konsep ekonominya, yaitu menggagas utuhan produksi-intermediasi-retail. Inilah yang disebut Mulawarman (2007a) sebagai bentuk sistem ekonomi kembali ke fitrah versi Rasulullah untuk mereduksi terkooptasinya pola pikir masyarakat Muslim dari sistem kapitalistik Mekkah yang lebih menekankan mekanisme perdagangan, tanpa pernah melihat mekanisme produksi (seperti bertani, pertambangan, berkebun, kerajinan, dan lainnya) dan retail (berdagang eceran). Kembali ke fitrah versi Rasulullah adalah bentuk keseimbangan ekonomi Ketuhanan, tidak hanya dekat dengan sistem pertukaran, tetapi juga dekat dengan alam, masyarakat, dan bahkan Tuhan.
Diperlukan pembenahan mendasar mengenai Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syari’ah dan Program Akselerasi Pengembangan Perbankan Syari’ah. Rekomendasi mendesak bagi Bank Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama
, hendaknya visi pengembangan mementingkan harmoni dan keseimbangan daripada kompetisi dan efisiensi. Hal ini sesuai dengan maqashid asy syari’ah, yaitu mashlaha, kesejahteraan ummat yang hakiki, dan memiliki keseimbangan produksi-intermediasi-retail sesuai ushwah model ekonomi Rasulullah.
Kedua, agar visi sesuai maqashid asy syari’ah, yaitu mashlaha untuk semua, maka diperlukan reorientasi diri perbankan syari’ah. yang sesuai core competencies.
Ketiga, pengembangan produk perbankan syari’ah hendaknya sesuai dengan core competencies sehingga memunculkan karakter genuine perbankan syari’ah ala Indonesia. Yaitu karakter unique perbankan syari’ah Indonesia.
Keempat, perlunya telaah dan pengembangan lebih lanjut produk qardh yang tetap mengedepankan prinsip produktif dan bukannya untuk kepentingan konsumtif.
Kelima, perlunya regulasi Bank Indonesia berkenaan prioritas pengembangan produk muzara’ah dan musaqah bagi kalangan perbankan syari’ah. Regulasi ini untuk mengupayakan agar perbankan syari’a dalam mengajukan produk-produknya tetap mengedepankan keseimbangan produksi-intermediasi-retail.
Keenam, penekanan kuantitas maupun kualitas pemenuhan market share perbankan syari’ah hendaknya tidak didasari prioritas ”kompetitif” dan ”efisiensi” seperti tertulis dalam visi Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syari’ah Indonesia. Penekanan kuantitas dan kualitas harus tetap mementingkan harmoni dan mashlaha sebagai tujuan utama perbankan syari’ah.

5. CATATAN AKHIR
Penulis sendiri berpendapat bahwa yang paling penting adalah tetap memelihara “obor” semangat menuju terwujudnya ekonomi Islam yang sejati. Bentuk, proses, sistem dan mekanisme yang selama ini ada merupakan “realitas empiris” yang perlu didukung untuk perkembangan menuju kesempurnaan sistem keuangan Islam. Ide, riset dan alternatif-alternatif dapat berjalan dengan baik ketika terdapat sinergi antara dunia akademis, lembaga akademis lainnya, lembaga-lembaga keuangan sebagai representasi empiris, dunia bisnis, pemerintah, DSN-MUI, serta masyarakat secara umum.
Saya juga masih percaya bahwa kekuatan berusaha terdapat pada sifat enterpreneurship yang berhubungan dengan Trust. Trust bukan hanya kepercayaan pada tingkatan “deadline kewajiban” yang misalnya diukur dalam bentuk CAMEL perbankan, atau kemampuan menjalankan manajerial secara profesional. Trust substantif jelas lebih dari itu, yaitu Trust berdasar hati dan ketundukan, dalam Capaian Ketuhanan. Insya Allah.



DAFTAR PUSTAKA

Ali, Hasan. 2007. 2007: Tahun Percepatan Industri Perbankan Syari’ah. Website Pusat Komunikasi Ekonomi Syari’ah (PKES)
Bank Indonesia. 2002. Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syari’ah Indonesia. Direktorat Perbankan Syariah. Jakarta
Bank Indonesia. 2003. Statistik Perbankan Syari’ah Nopember 2003. Direktorat Perbankan Syariah. Jakarta
Bank Indonesia. 2002. Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syari’ah Indonesia. Direktorat Perbankan Syariah. Jakarta
Bank Indonesia. 2007. Statistik Perbankan Syari’ah Oktober 2007. Direktorat Perbankan Syariah. Jakarta
Bank Indonesia. 2007. Kebijakan Akselerasi Pengembangan Perbankan Syari’ah Indonesia 2007-2008. Direktorat Perbankan Syariah. Jakarta.
Chapra, M. Umer. 2000. Islam dan Tantangan Ekonomi. Terjemahan. GIP-Tazkia Institute. Jakarta.
Karim, Adiwarman. 2004a. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Edisi Kedua. Rajawali Press. Jakarta
Karim, Adiwarman. 2004b. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Edisi Kedua. Rajawali Press. Jakarta
Lewis, Mervin K. and Latifa M. Algoud. 2001. Islamic Banking. Edward Elgar. Masschusetts.
Majelis Ulama Indonesia. 2007. Fatwa DSN Tentang Kartu Kredit Syari’ah. Jakarta
Mulawarman, Aji Dedi. 2007a. Menggagas Neraca Syari’ah Berbasis Maal. The 1st Accounting Conference. FE-UI Depok. 7-9 Nopember.
Mulawarman, Aji Dedi. 2007b. Menggagas Trilogi Laporan Keuangan Berbasis Ma’isyah-Rizq-Maal. Simposium Nasional Sistem Ekonomi Islam III. Unpad Bandung 14-15 Nopember.
Mulawarman, Aji Dedi. 2007c. Mengembangkan Kompetensi Inti dan Bisnis Koperasi. Diskusi Panel Kajian Ilmiah Koperasi Lintas Disiplin Ilmu. Kerjasama Kementerian Negara KUKM dan FE-Universitas Negeri Malang. 10 Desember.
Mulawarman, Aji Dedi. 2007d. Keuangan Syari’ah: Antara Konsep, Perkembangan Terkini dan Prospek Ke Depan. “Soft Opening Lembaga Riset Keuangan Syari’ah”. Universitas Cokroaminoto Yogya, 28 Maret.
Prahalad, CK. And Gary Hamel. 1990. The Core Competence of the Corporation. Harvard Business Review. May-June. pp 1-12.
Prahalad, CK. And Gary Hamel. 1994. Competing for the Future. Harvard Business School Press
Republika, 2007. Kartu Kredit Syari’ah, Solusi atau Masalah? 1 Maret.
Republika, 2007. Kartu Kredit Syari’ah Pertama di Indonesia. 19 Juli.

[1] Makalah ini pernah disampaikan dalam Seminar Interaktif ”Shari’ah Weekend” yang diadakan oleh LEM FE-UII dan KOPMA FE UII, Jogjakarta, 13 Desember 2007
[2] Kondisi tersebut juga diakui oleh Juwono, dari Bank BNI Syariah, yang sebelumnya hanya bermain di ritel dan UKM (Usaha Kecil dan menengah). Juwono menjelaskan, bahwa sektor ritel di BNI Syariah mencapai 60% dari pembiayaan BNI Syariah.
[3] Kartu kredit syariah pertama di dunia diluncurkan oleh AmBank Malaysia (semula dikenal Arab-Bank Malaysian Bank Berhad) dengan nama Al Taslif Credit Card pada tahun 1996 dengan skim bai bithaman ajil (bayar tangguh). Meski menimbulkan pro dan kontra, langkah tersebut diikuti oleh Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) pertengahan tahun 2002 dengan nama Bank Islam Card dan Arab Bangking Corporation (ABC) Islamic Bank Bahrain pada akhir 2002, serta As Shamil Bank dan Tadamon Islamic Bank. Namun perkembangan kartu kredit syariah di Malaysia kurang menggembirakan.
[4] Kerawanan kartu kredit terletak pada pembebanan bunga jika pemegang kartu tak mampu membayar pada saat jatuh tempo, sehingga menimbulkan penggandaan bunga yang berlipat dan terpuruk. Kemudian, proses pembuatan kartu kredit syariah juga masih mengalami banyak kendala dalam hal penetapan harga jual, karena harga pada akad jual beli ditentukan di awal sesuai dengan jangka waktu yang disepakati. Sedangkan harga tangguh suatu barang dan jasa pada kartu kredit bisa berubah akibat semakin lamanya pembayaran, sehingga akan sulit menentukan harga jual yang akurat. Selain itu, tidak ada jaminan absah atau tidaknya berbagai item transaksi barang dan jasa yang menyangkut perbedaan akad, termasuk mendeteksi transaksi yang tidak dibenarkan secara syariah.
[5] Kompetensi yang perlu adalah semua kompetensi yang menciptakan nilai, sedangkan kompetensi yang membedakan adalah kompetensi-kompetensi yang memberi organisasi tertentu atau kelompok organisasi suatu posisi kompetitif (misalnya penguasaan pasar, reputasi ilmiah).

Selasa, 04 Desember 2007

SHARI'ATE FINANCIAL STATEMENTS

This is my research abstract about how to construct "financial statement technology", called Shari'ate Financial Statements, from the real Indonesian Moslem business activity.

I try to design my research with the "unique methodology", "my own creation methodology", that called Two Step Tazkiyah Methodology.




ABSTRACT

The objective of this research to formulate Shari’ate Financial Statements from the real transaction and business habitus of Indonesian Moslem Society. Formulation is conducted by utilising Two-Steps Tazkiyah Methodology. Step one in that methodology, conventional concept of financial statements and Baydoun and Willett’s (1994) Islamic Corporate Report’s are refined by Shari’ate Accounting (derived from Islamic Values and Maqashid Asy-Syari’ah). Step two, the result is then refined by (Islamic) Technosystem and Constructivist Structuralism to generate Shari’ate Financial Statements.

The first result shows that ma’isyah-rizq-maal trilogy are the substance’s of shari’ate financial statements. Ma’isyah is a representation of Islamic business transaction. Rizq is a representation of Islamic value added creation. Maal is a representation of Islamic wealth.

The consequence of the second results shows that formulation of: (1) shari’ate cash flow statement is based on ma’isyah concept; (2) shari’ate value added statement based on rizq concept; and (3) shari’ate balance sheet based on maal concept.

Keywords:
Maisyah-Rizq-Maal Trilogy; Shari’ate Financial Statements; Shari’ate Cash Flow Statement; Shari’ate Value Added Statement; Shari’ate Balance Sheet.

Kamis, 22 November 2007

BELAJAR DARI PAK TJOKRO

ISLAMISASI ILMU ALA HOS TJOKROAMINOTO
Oleh: Aji Dedi Mulawarman

Setinggi-tinggi Ilmu, semurni-murni Tauhid, sepintar-pintar Siasat




1. PENDAHULUAN

Segala puji hanya untuk Allah SWT. Salawat serta salam semoga tercurah kepada Muhammad saw., keluarga serta pengikutnya yang setia. Rujukan Islamisasi Ilmu biasanya berpusat pada dua tokoh utama, yaitu Ismail Raji Al Faruqi dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas tahun 1984-1985. Pemikiran Faruqi dan Al Attas tentang Islamisasi Ilmu diilhami oleh Muhammad Abduh dan lebih menajam pada sosok Muhammad Iqbal tahun 1928 yang menggagas rekonstruksi pemikiran Islam di awal abad XX.

Bila dirunut dari awal, berdasarkan kronologis mainstream Islamisasi Ilmu, biasanya diukur dari keresahan para intelektual di awal abad XX, yang menurut Al-Faruqi dilakukan oleh para ”guru paling terkemuka” yaitu Muhammad Abduh dan Muhammad Iqbal (semoga Allah selalu memberkati dan memberikan tempat yang sempurna di sisi-Nya). Terutama Iqbal dalam bukunya yang sangat revolusioner, berjudul ”The Reconstruction of Religious Thought in Islam yang merupakan kumpulan ceramah-ceramah filosofis beliau. Enam ceramah dilakukan Iqbal di Madras dan 1 ceramah dilakukan di Inggris selama tahun 1928.. Menurut Wan Daud (2003, 389) pikiran-pikiran filosofis Iqbal merupakan pikiran yang mendahului jamannya. Fazlur Rahman menyebut Iqbal sebagai seorang Tasawuf Positif.


2. ISMA’IL RAJI AL FARUQI

Islamisasi Ilmu sendiri secara formal-linguistik biasanya ditujukan pada Ismail Raji Al Faruqi. Menurut Al-Faruqi (1995), Islamisasi Pengetahuan sebenarnya merupakan satu tugas yang serupa sifatnya dengan tugas yang pernah dimainkan oleh nenek moyang kita yang mencerna ilmu zaman mereka dan mewariskan kepada kita peradaban dan kebudayaan Islam, walaupun ruang lingkupnya kini lebih luas. Pengertian Islamisasi Pengetahuan bagi Al-Faruqi adalah penguasaan semua disiplin Modern dengan sempurna, melakukan integrasi dalam utuhan warisan Islam dengan eliminasi, perubahan, penafsiran kembali dan penyesuaian terhadap komponen-komponen pandangan dunia Islam dan menetapkan nilai-nilainya (Al Faruqi 1995, 34-35).

Islamisasi Ilmu harus merujuk pada tiga sumbu Tawhid, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan hidup dan kesatuan sejarah. Kesatuan pengetahuan berkaitan dengan tidak ada lagi pemisahan pengetahuan rasional (aqli) dan tidak rasional (naqli). Kesatuan hidup berkaitan dengan semua pengetahuan yang harus mengacu pada tujuan penciptaan, yang berdampak lanjutan pada tidak bebasnya pengetahuan dari nilai, yaitu nilai Ketuhanan. Kesatuan sejarah berkaitan kesatuan disiplin yang harus mengarah sifat keuumatan dan mengabdi pada tujuan-tujuan ummah di dalam sejarah.

Tiga prinsip kesatuan, dengan demikian tidak lagi melakukan pembagian pengetahuan dalam sains-sains yang bersifat individual maupun yang sosial, semua disiplin bersifat humanistis dan ummatis (Al Faruqi 1995, xii). Menurut Al Faruqi (1995, xii) untuk menjalankan tiga prinsip kesatuan tersebut diperlukan penjelasan teknis yang disebutnya sebagai Dua Belas Langkah Rencana Kerja Islamisasi Pengetahuan (lebih detil lihat Faruqi 1995). Inti dari Islamisasi adalah sintesa kreatif ilmu-ilmu Islam tradisional dan disiplin-disiplin ilmu Modern. Sintesa ini diharapkan Al-Faruqi memberikan solusi bagi permasalahan masyarakat muslim, yang digulirkan menjadi bentuk buku-buku daras dan kurikulum pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dan realitas masyarakat muslim.

Langkah-langkah konkrit Al-Faruqi bukanlah sebuah model yang selesai. Banyak pengembangan dan kritik disampaikan, misalnya pengembangan yang dilakukan oleh International Institute of Islamic Thought (IIIT) yang didirikan sendiri oleh Faruqi. Atau bahkan kritik yang disampaikan oleh Sardar (1987), Al-Attas dan banyak lagi di Indonesia seperti Mahzar (2005) dan Kuntowijoyo (2004). Menurut saya apa yang dilakukan oleh Al Faruqi sebenarnya mirip dengan konsep koeksistensi (epistemologi berpasangan) atau epistemologi profetik dari Kuntowijoyo. Model yang agak berbeda adalah bentuk Islamisasi dari Al-Attas (Islamisasi Bahasa), Sardar (Islamisasi Sains dan Teknologi dalam konteks Peradaban) dan Mahzar (Islamisasi Teknologi).

Pengembangan tahapan Islamisasi Ilmu oleh Safi (1996) dari IIIT misalnya dengan meringkas Dua Belas Langkah Faruqi menjadi Tiga Langkah yang lebih umum. Sedangkan kritik Sardar (1987, 85) atas proyek dan langkah Islamisasi Faruqi, adalah pada pengabaian realitas epistemologis Barat yang membangun dunia modern saat ini. Proyek Islamisasi Faruqi seakan tidak melihat kekuatan epistemologi Barat yang mendominasi seluruh lini pengetahuan yang telah berkembang saat ini. Sardar (1987, 90) menegaskan bahwa yang paling penting sebelum dilakukan proses praktis seperti Islamisasi model Faruqi adalah melakukan perubahan epistemologis Barat terlebih dahulu (Sardar 1987, 85-106).


3. SYED MUHAMMAD NAQUIB AL ATTAS

Wan Daud (2003), murid Syed Muhammad Naquib Al Attas, menganggap bahwa Al Attas adalah source awal Islamisasi Ilmu berasal. Hal ini dibuktikan dengan surat menyurat yang dilakukan oleh Faruqi dan Al-Attas berkaitan dengan pemberdayaan keilmuan masyarakat muslim. Kritik Al-Attas terhadap Islamisasi yang dilakukan Faruqi, bahwa Faruqi hanya melakukan Islamisasi ilmu kontemporer saja, dan tidak melakukan rekonstruksi atas ilmu (disebut Al Attas sebagai Turath Islamyy) (Hashim 2005). Proses Islamisasi harus melakukan dua langkah utama, yaitu proses verifikasi dan proses penyerapan dengan batasan-batasan tertentu. Proses Islamisasi adalah proses sintesis seperti dilakukan Faruqi. Sintesa dapat dilakukan ketika konsep-konsep Barat telah disaring dan direduksi unsur-unsurnya. Yang paling penting, lanjut Al-Attas, Islamisasi Al Faruqi mengecilkan peran tassawuf. Bagi Al-Attas, tassawuf adalah cara yang harus pula dilakukan untuk menyelamatkan manusia dari cengkeraman empirisme, pragmatisme, materialisme dan rasionalisme sempit yang merupakan sumber utama sains modern. Masuknya konsep tassawuf menurut Al-Attas akan memberi arah yang benar pada kesatuan akal, jiwa, intuisi dan spiritualitas.

Islamisasi Ilmu, menurut Sardar (1987, 67) merupakan bagian dari bangunan Peradaban Islam yang pada hakikatnya adalah proses penguraian pandangan dunia Islam secara teoritis sekaligus praktis, masing-masing menunjang satu sama lainnya, teori membentuk praktik dan perilaku, dan praktik memperbaiki teori. Pembangunan kembali bukan hanya tugas pribadi-pribadi tetapi merupakan tugas kelompok yang memerlukan usaha banyak sarjana dengan latar belakang dan disiplin ilmu berbeda-beda, semuanya memusatkan perhatian dan bakat mereka pada usaha interdisipliner untuk membangun kembali Peradaban. Usaha peradaban adalah usaha pencarian global yang harus mencakup seluruh unsur pemikiran dan tindakan ummah. Tetapi setiap langkah menuju masa depan memerlukan penguraian lebih jauh atas pandangan dunia (world view/paradigm) Islam, suatu kebutuhan akan prinsip ijtihad yang dinamis yang memungkinkan peradaban Muslim untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang terus berubah. Mulai dari struktur politik dan sosial, ekonomi, lingkungan, sains dan teknologi yang semuanya berinduk pada pandangan dunia yang utuh, Pandangan Dunia Islam. Ciri unik pandangan dunia Islam adalah bahwa dia mengetengahkan suatu pandangan interaktif dan terpadu yang diikat oleh nilai utama, Tawhid.


4. HOS TJOKROAMINOTO: AWAL ISLAMISASI?

Hadji Oemar Said Tjokroaminoto lahir di Ponorogo, tanggal 6 Agustus 1882, meninggal dunia pada tanggal 17 Desember 1934, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Pekuncen, Yogyakarta. Tjokroaminoto biasanya hanya dikenal sebagai politikus dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Beliau dapat dianggap sebagai ilmuwan otodidak yang banyak mempengaruhi pemikiran para tokoh kemerdekaan seperti Semaun yang sosialis, Soekarno yang nasionalis, dan Kartosuwiryo yang agamis.

Sarekat Dagang Indonesia (SDI) muncul tahun 1905 dari tokoh awalnya H. Samanhudi dan menjadi besar berkat sentuhan tangan HOS Tjokroaminoto tahun 1913 (Gonggong 1985). HOS Tjokroaminoto dalam perjalanan sejarahnya telah mendistribusikan pemikiran model bisnis (baik praktik, konseptual sampai politik) Islam versi Indonesia dari semangat komunitas SDI. SDI memang menjalankan mekanisme yang mirip dengan gagasan Ekonomi Islam awal dari Muhammad saw.

Anggota SDI awal didominasi para produsen sekaligus pedagang dengan semangat Islamnya mempertahankan gaya bisnisnya dari tekanan Belanda melalui subordinasinya, yaitu para pedagang Cina (Noer 1996). Konsep ekonomi khas SDI dapat dilihat dari pemikiran Tjokroaminoto dalam buku fenomenalnya, "Islam dan Sosialisme" yang terbit tahun 1925. Bila dilihat dari waktu terbitnya buku ini jelas sekali apa yang dilakukan oleh Tjokroaminoto mendahului apa yang dilakukan Faruqi dan Al-Attas, bahkan Iqbal sekalipun.

Beberapa pemikiran utama Tjokroaminoto dengan tekanan konsep ekonomi dan sosial Islam seperti dijelaskan sendiri oleh beliau (Tjokroaminoto 1950, 17):

Hanya Islam itu saja agama yang mencampurkan perkara lahir dengan perkara batin. Islam memberi aturan untuk pedoman bagi perikehidupan batin dan juga pedoman bagi pergaulan hidup bersama, bagi perkara-perkara politik, pemerintahan negeri, militer, kehakiman dan perdagangan dunia.

Penolakannya terhadap prinsip sosialisme yang materialistik telah menempatkan Tjokroaminoto sebagai salah satu pemikir Indonesia paling awal dengan proses Islamisasi Ilmu, yaitu Islamisasi konsep Sosialisme Marxist. Statemen yang jelas-jelas memberikan stimulasi awal bagi Tjokroaminoto untuk melakukan Islamisasi konsep atau paham Sosialisme (Tjokroaminoto 1950, 17-23):

Saya tidak bisa menutup pendahuluan ini, kalau lebih dulu saja belum menguraikan sosialisme yang pada dewasa ini umumnya dipeluk oleh kaum Sosialis dan juga oleh kaum Communist di negeri-negeri Barat, yaitu yang lumrahnya dosebut wefenschappeliik socialisme (socialisme berdasar pengetahuan) atau disebut Marxisme namanya. Maksudnya uraian ini ialah buat menunjukkan, bahwa kita orang Islam tidak boleh dan tidak dapat menerima segenapnya wefenschappeliik socialisme pelajarannya Karl Marx itu. Meskipun wefenschappeliik socialisme menampak dan mengakui dirinya satu peraturan tentang urusan harta benda (economisch stelsel), tetapi sesungguhnya Marxisme itu sama sekali berdiri di atas dasar cita-cita semata-mata beralasan perkara hikmah belaka (wrisgeerige basis)... Agaknya kita tidak tersesat kalau kita mengatakan bukan saja historisch materialisme itu mungkir kepada Allah, tetapi historisch materialisme juga ber-Tuhankan benda disini tidak berarti: senang atau cinta kepada benda, tetapi berarti perkataan yang sebenarnya: benda dijadikannya Tuhan, daripada paham ini diterangkan, bahwa benda itu asalnya segala sesuatu, asalnya sifat asalnya perasaan dan asalnya hidup yang lebih tinggi. Mungkir kepada Allah, dan ber-Tuhankan benda!

Berdasarkan kesalahan ontologis dan epistemologis Materialisme Historis Marxis itulah kemudian Tjokroaminoto melakukan Islamisasi ajaran Sosialisme Marxis, yaitu yang disebutnya dengan Sosialisme Cara Islam. Sosialisme Cara Islam bertujuan untuk melaksanakan kedamaian dan keselamatan berdasarkan pada tafsir kata Islam yang memiliki 4 makna utama, yaitu:

  1. Aslama, maknanya ketundukan. Ketundukan harus diiutamakan kepada Allah, kepada Rasul dan Para nabi serta kepada pemimpin Islam.

  2. Salima, maknanya keselamatan. Kesematan di dunia dan akherat apabila setiap muslim menjalankan ajaran Islam secara sungguh-sungguh.

  3. Salmi, maknanya kerukunan. Kerukunan harus dilaksanakan dan diimplementasikan di antara sesama Muslim.

  4. Sulami, maknanya tangga. Setiap muslim yang menjalankan ajarannya dengan sungguh-sungguh haruslah melalui tingkatan-tingkatan yang bermakna keselarasan dunia dan akhirat sebagai simbol menuju derajat kesempurnaan hidup.

Berdasarkan 4 makna Islam itulah Tjokroaminoto kemudian menggagas Dua Prinsip Utama Sosialisme Cara Islam, yaitu Kedermawanan Islami dan Persaudaraan Islam (Tjokroaminoto 1950, 28-32). Kedermawanan Islami sebagai prinsip bukanlah melakukan sedekah sebagai kebajikan semata, tetapi sedekah adalah kewajiban untuk meraih cinta Allah. Kedermawanan untuk meraih cinta Allah akan berdampak pada tiga hal. Pertama, menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi untuk mencapai Keridhaan Allah. Kedua, zakat sebagai dasar bagi distribusi dan pemerataan kekayaan untuk seluruh masyarakat. Ketiga, kemiskinan dunia bukanlah kehinaan, tetapi kejahatan dunia adalah kehinaan. Prinsip kedua, yaitu Persaudaraan Islam, menekankan persaudaraan yang dibangun bukan dibangun berdasarkan pada suku, warna kulit, ras, kekayaan atau lainnya, tetapi berdasar pada ketakwaan.


5. CATATAN AKHIR

Tak dapat dipungkiri, gagasan orisinil HOS Tjokroaminoto mengenai Sosialisme Cara Islam yang diluncurkan pada bulan Nopember tahun 1924 adalah warisan tak ternilai bagi masyarakat intelektual muslim Indonesia bahkan dunia Muslim secara umum. HOS Tjokroaminoto adalah sosok pejuang, politikus sekaligus ilmuwan. Obor perjuangan yang utuh sebagai seorang Muslim sederhana, Raja Tanpa Mahkota, Ratu Adil bagi wong cilik. Hormat Selalu untukmu Pak Tjokro. Ya Allah ampunilah dosa-dosanya, berilah ruang di sisiMu bersama para Mujahid sepanjang jaman. Amin.

HABITUS CULTUURSTELSEL RAKYAT: PESAN UNTUK RUU UKM

HABITUS CULTUURSTELSEL RAKYAT: PESAN UNTUK RUU UMKM
Oleh: Aji Dedi Mulawarman





Pendahuluan

Di tengah-tengah terjadinya gelombang besar neoliberalism (lewat liberalisasi dan deregulasi pro pasar) sebagai puncak dari pelaksanaan 10 kebijakan Washington Consencus tahun 1989, permasalahan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia atau sekarang definisinya menjadi “garis linier menurun” disebut Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), tak kunjung selesai dibicarakan, didiskusikan, “direkayasa”, diupayakan penguatannya, bahkan - sampai yang katanya - “diposisikan” sebagai salah satu tiang utama perekonomian nasional.

Pendekatan penguatan UKM/UMKM (yang semuanya masuk dalam UU No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil maupun draft RUU UMKM) dilakukan mulai dari akademik (penelitian, pelatihan, seminar-seminar, sosialisasi teknologi), pemberdayaan (akses pembiayaan, peluang usaha, kemitraan, pemasaran, dll), regulatif (legislasi dan perundang-undangan), kebijakan publik (pembentukan kementrian khusus di pemerintahan pusat sampai dinas di kota/kabupaten, pembentukan lembaga-lembaga profesi), sosiologis (pendampingan formal dan informal), behavior (perubahan perilaku usaha, profesionalisme). Bahkan sampai pada pendekatan sinergis-konstruktif (program nasional Jaring Pengaman Nasional, pengentasan kemiskinan, Pembentukan Lembaga Penjaminan, Pembentukan UKM-UKM Center daerah sampai nasional).

Hasilnya, UKM dari tahun ke tahun jumlahnya naik, dari 40 juta tahun 2001 menjadi 44 juta tahun 2007. Kontribusinya pada PDB makin menurun, dari 41,07% tahun 2003 menjadi 40,36% tahun 2004. Berbeda dengan Usaha Besar, yang jumlahnya relative tetap, yaitu sekitar 2500 perusahaan. Tetapi kontribusinya pada PDB selalu meningkat dari tahun ke tahun, dari 43,33% tahun 2003 menjadi 44,12%.


Ekonomi Rakyat vs UMKM

Perdebatan mengenai kedudukan UMKM di Indonesia atau dalam konteks Ekonomi Pancasila saat ini berada pada “persimpangan jalan” implementasi pasal 33 UUD 1945. Turunannya bisa berbentuk Ekonomi Pancasila versi Kementrian Koperasi dan UMKM, atau Ekonomi Kerakyatan/Koperasi versi Hatta dan para penerusnya. Bagi pendukung gerakan ini UKM adalah istilah Bank Dunia dan IMF, terjemahan dari Small and Medium Enterprises. UKM secara implisit kata Mubyarto (2002) adalah representasi kooptasi globalisasi dan neoliberalisme untuk mematikan ekonomi rakyat.

Istilah ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi menurut para pendukungnya bukanlah kooptasi dan pengkerdilan usaha mayoritas rakyat Indonesia, tetapi merupakan kegiatan produksi dan konsumsi yang dilakukan oleh semua warga masyarakat dan untuk warga masyarakat, sedangkan pengelolaannya dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat sendiri (Mubyarto, 2002).


Habitus dan Doxa Cultuurstelsel dalam Jiwa UMKM

Apakah memang benar kata Pierre Bourdieu bahwa setiap manusia dan realitas sosial dipengaruhi oleh Habitus? Menurut Bourdieu setiap individu dalam realitas (practice) tidak semata-mata menjalankan produk sosial tetapi juga dipengaruhi kerangka pikir dan menterjemah dalam perilaku individu (Bourdieu dan Wacquant, 1992). Habitus dapat dikatakan sebagai “blinkering perception of reality” (Fowler 1997 dalam Wainwright 2000, 10). Artinya, habitus lanjut Takwin (2005, xviii-xix) habitus merupakan hasil pembelajaran lewat pengalaman, aktivitas bermain dan pendidikan masyarakat dalam arti luas. Pembelajaran terjadi secara halus (disebut doxa oleh Bourdieu), tidak disadari dan tampil sebagai hal wajar, sehingga seolah-olah sesuatu yang alamiah, seakan-akan terberi oleh alam.

Ketika tesis Sritua Arif (1995) benar bahwa masyarakat Indonesia telah terkooptasi secara “turun-temurun” oleh budaya cultuurstelsel Belanda selama 350 tahun, maka menjadi logislah kita semua masih senang didominasi oleh gerakan “tanam paksa” Neoliberal. Cultuurstelsel telah menjadi habitus rakyat Indonesia lewat doxa kapitalisme, Neoliberalisme Ekonomi. Ekonomi Rakyat sebagai idealisme perekonomian Hatta ternyata pula telah tergerus oleh doxa Neoliberalisme Ekonomi. Neoliberalisme Ekonomi bahkan telah menjadi (dikatakan oleh Bourdieu) sebagai symbolic violence, kejahatan simbolis dari doxa.

Bentuk konkrit habitus cultuurstelsel, Usaha Besar harus menjadi pusat kendali dari trickle down effect dalam bursa efek, mega-industri sampai oligopoli pasar nasional. Sedangkan UMKM yang 99% hanyalah menjadi tiang penopang ekonomi (dan sesungguhnya pula hanya sebagai pelengkap penderita) dalam bentuk subordinasi untuk Usaha Besar. Itulah yang terpotret dalam jiwa RUU UMKM kita. Definisi UMKM telah menjadi Habitus rakyat Indonesia, lewat doxa kapitalisme untuk menggeser “hati nurani” pasal 33 UUD 1945.


Ekonomi Rakyat “Baru”?

Mementingkan akses pendanaan, pemasaran, kuota, hak atas saham milik BUMN bagi Koperasi dan UMKM, redistribusi aset kalau perlu, pemberdayaan diri, pemberdayaan sosial, teknologi, pelatihan, dan bentuk-bentuk materi-egoistik memang dapat bermanfaat bagi penguatan ekonomi rakyat atau Koperasi dan UMKM. Tetapi perlu diingat bahwa Pasal 33 UUD 1945 tidak dapat dibaca hanya sebagai salah satu penggalan kepentingan ekonomi masyarakat Indonesia. Kemakmuran ekonomi masyarakat bukan hanya perwujudan pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 hanyalah salah satu bagian dari seluruh kehendak rakyat Indonesia yang holistik yaitu menginginkan kesejahteraan sosial, ekonomi, politik, budaya, lahir dan batin, serta mewujudkan harkat martabat manusia berke-Tuhan-an.

Menjadi benarlah pesan HOS Tjokroaminoto: “keluar dari kapitalisme menuju sosialisme tidaklah berguna, karena keduanya masih menuhankan benda. Ekonomi yang benar adalah ekonomi untuk rakyat, ekonomi berorientasi kebersamaan, bermoral, memiliki tanggung jawab sosial dan paling penting tanggungjawab pada Tuhan.” Tetapi, religiusitas ekonomi rakyat bukanlah religiusitas gaya spiritual company yang menggunakan spiritualitas untuk kepentingan keuntungan ekonomi atau apapunlah. Ekonomi rakyat haruslah utuh dan kokoh bersandar pada kepentingan jangka panjang, Jalan Tuhan. Insya Allah.


Singosari, 6 September 2007, menjelang Ramadhan.

Selasa, 20 November 2007

ARTIKEL AKUNTANSI SYARI'AH

Artikel saya mengenai akuntansi syari'ah, pendidikan akuntansi, keuangan Islam yang pernah di presentasikan di berbagai forum nasional-internasional:

1. Seminar Reinventing Paradigms of Social Studies in Indonesia, Yogyakarta, 11-13 Agustus 2006, FISE UNY-HISPISI. Judul Makalah: Pendidikan Akuntansi Berbasis Cinta, oleh Aji Dedi Mulawarman
2. Merefleksi Domain Pendidikan Ekonomi dan Bisnis, Salatiga, 1 Desember 2006, FE Universitas Kristen Satya Wacana. Judul Makalah: Pensucian Pendidikan Akuntansi, oleh Aji Dedi Mulawarman
3. First Accounting Session: Revolution of Accounting Education, Universitas Kristen Maranatha Bandung, 18-19 Januari 2007. Judul Makalah: Pensucian Pendidikan Akuntansi Episode Dua, oleh Aji Dedi Mulawarman
4. Seminar Sehari Perbankan Syari'ah yang diadakan Lembaga Riset Keuangan Syari'ah Universitas Cokroaminoto Jogjakarta, 28 Maret 2007. Judul Makalah: Keuangan Syari’ah: Antara Konsep, Perkembangan Terkini dan Prospek Ke Depan, oleh Aji Dedi Mulawarman
5. Simposium Nasional Akuntansi X tanggal 26-28 Juli 2007 di Makassar. Judul Makalah: Menggagas Laporan Arus Kas Syari’ah Berbasis Ma’isyah, oleh Aji Dedi Mulawarman
6. Orasi Ilmiah Wisuda Universitas Cokroaminoto Jogjakarta 12 September 2007. Judul Makalah: Ekonomi Islam Dalam Bingkai Pemikiran HOS Tjokroaminoto, oleh Aji Dedi Mulawarman
7. The 1st Accounting Conference Universitas Indonesia. 7-9 Nopember 2007. Judul Makalah: Menggagas Neraca Syari’ah Berbasis Maal: Kontekstualisasi Kekayaan Altruistik Islami, oleh Aji Dedi Mulawarman. Mendapat Best Paper Awards. Masuk dalam Jurnal Akuntansi Keuangan Indonesia (JAKI) FE-UI, Depok.
8. Simposium Nasional Ekonomi Islam 3 Universitas Padjadjaran Bandung. 14-15 Nopember 2007. Judul Makalah: Menggagas Laporan Keuangan Syari’ah Berbasis Trilogi Ma’isyah-Rizq-Maal, oleh Aji Dedi Mulawarman
9. Pemakalah Terbaik (Best Paper) Simposium Nasional Akuntansi IX tanggal 23-26 Agustus tahun 2006 di Padang. Judul Makalah: Rekonstruksi Teknologi Integralistik Akuntansi Syari’ah: Shari’ate Value Added Statement (ditulis bersama Aji Dedi Mulawarman, Iwan Triyuwono, Unti Ludigdo) Masuk dalam Jurnal Akuntansi Keuangan Indonesia (JAKI) FE-UI, Depok

Apabila ada yang perlu dikonfirmasikan mengenai artikel-artikel tersebut silakan menuliskan di komentar...

Jumat, 16 November 2007

JEBAKAN KEBUDAYAAN: HEGEMONY AND POWER?

JEBAKAN KEBUDAYAAN KITA: HEGEMONY AND POWER?
Oleh: Aji Dedi Mulawarman


Mengapa selalu terjadi kontradiksi perhitungan suara setiap kali diadakan pilkada? Mengapa selalu terjadi kontradiksi agenda ujian akhir nasional? Kontradiksi kebijakan konversi migas nasional? Kontradiksi pembangunan mall-mall di kota besar? Kontradiksi persetujuan RUU menjadi UU? Kontradiksi Al Qiyadah Al Islamiyah? Kontradiksi bank syari'ah itu syari'ah atau tidak? Kontradiksi tanah adat itu punya hak atau pengusaha yang memiliki SK penambangan/HPH lebih berhak? Bahkan kontradiksi perlu dipenjara atau tidak yang katanya Roy Marten itu “hanya korban narkoba”? Konktradiksi-kontradiksi di negara kita tercinta ini, bila diamati setiap hari terjadi di hampir seluruh kebijakan hubungannya dengan kepentingan publik.
Banyak pandangan, melihat realitas seperti ini sebagai perjalanan menuju demokratisasi publik. Banyak juga yang melihat realitas seperti itu sebagai ketidakdewasaan masyarakat dan pengelola kebijakan publik. Bahkan ada yang melihat realitas seperti itu ditunggangi kepentingan maupun interaksi antroposentristik, kelompok, pengusaha, politisi atau pressure group lain. Ujung-ujungnya semua berkeinginan menuju kesepakatan musyawarah-mufakat yang diagendakan bersama. Hasilnya? Belum tentu sesuai tujuan ideal demokrasi, suara rakyat suara Tuhan. Yang sering terjadi malah, suara rakyat suara bayaran.
Jadi? Apakah benar kita sedang menuju demokrasi publik? Apakah benar kita sedang menuju pendewasaan masyarakat maupun penyelenggara negara? Apakah benar kita sedang menuju pengendalian terselubung oleh pressure group?
Bila ditarik lebih jauh, terdapat tiga kata kunci, demokrasi, pendewasaan bernegara dan pressure group. Bisa saja terdapat kata kunci lainnya. Bisa saja terdapat argumen lain di luar tiga kata kunci tersebut, tetapi sepanjang yang diketahui secara umum dan menjadi hipotesis dominan menurut penulis ya tiga kata kunci itu. Tiga kata kunci tersebut pula sebenarnya merupakan realitas kesejarahan di muka bumi ini. Termasuk di Indonesia. Meskipun terdapat istilah atau simbol-simbol lain sesuai jamannya. Interaksi, kontradiksi, tarik menarik kepentingan, semua terjalin dalam tiga kata kuci tersebut.
Terus, kenapa kita, Indonesia, tidak pernah berhasil menggapai keselarasan atas tiga kata kunci tersebut? Padahal, masih menurut pengamatan penulis, setiap negara ketika berhasil menyelesaikan masalah atas tiga kata kunci tersebut, maka negara akan mengalami kemajuan dan kebesarannya. Kita lihat sejarah negara-negara yang berhasil leading sebagai negara maju, pasti telah dapat melakukan “manajemen” tiga kata kunci tersebut. Amerika Serikat, Negara-negara Eropa, Jepang, Cina, Korea Selatan, Singapura, dan lainnya. Kesimpulannya? Tiga kata kunci tersebut harus di-manage sedemikian rupa, dan negara berhasil menggiring menuju kemajuannya. Apakah itu juga benar?
Tapi jangan lupa, ternyata negara-negara tersebut sebenarnya tidak menyelesaikannya. Manajemen tiga kata kunci tersebut ternyata digiring pada interaksi lintas negara. Negara-negara tersebut meng-ekspor tiga kata kunci menjadi kata kunci untuk berhadapan dengan negara lainnya. Untuk apa? Inilah yang disebut “Hegemony and Power”. Ya, kesatuan dari dua kata itulah yang mungkin penting dan merupakan perasan dari tiga kata kunci, demokrasi, pendewasaan bernegara, dan pressure group. Setiap negara maju sebenarnya berhasil melakukan “trick and trap” tiga kata kunci menjadi “weapon” untuk menggapai “hegemony and power”. Hegemony politik, ekonomi, sains dan teknologi, dan apapun yang mungkin, atas ratusan negara yang pasrah, gamang maupun menentang. Power regulasi internasional dan pencitraan media, sosial dan apapun yang mungkin atas ratusan negara yang pasrah, gamang maupun menentang.
“Hegemony and Power”, bila kita amati, saat ini telah memasuki relung demokrasi, pendewasaan bernegara dan pressure group di tiap negara yang pasrah, gamang maupun menentang. Akankah itu berlanjut? Apakah Indonesia telah pula larut dalam ketidakberdayaan Hegemony and Power dari luar? Sedemikian parahkah kondisi kita?
Mungkin benar, mengapa Sudjatmoko sejak lama mengingatkan kita untuk membangun kemandirian budaya kita sendiri, Itu pulalah yang dilakukan oleh Jepang saat Restorasi Meiji dengan program membangun kembali peradaban dan budaya mereka menghadapi modernisasi; Cina dengan Program Tirai Bambunya untuk menghadapi Globalisasi dan Neoliberalisme, dan lainnya.
Tetapi semuanya itu hanya program menghadapi perubahan dan kita larut di dalamnya, bercengkerama serta menjadi bagian untuk menegakkan “Hegemony and Power”. Selanjutnya, melakukan intervensi dan penindasan pada setiap wilayah yang diperlukan untuk menegakkan harga diri serta langgengnya “Hegemony dan Power”.
Atau ada jalan lain yang lebih altruistik? Ya mungkin kita perlu melakukan seperti dicontohkan Muhammad saw., melakukan hijrah dan mendeklarasikan Piagam Madinah untuk membangun Peradaban berusia 1000 tahun penuh kesetaraan dan keberkahan. Bukannya hegemony dan power. Wallahua'lam.

Singosari, 15 Nopember 2007

Senin, 08 Oktober 2007

BLOG BARUKU

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
selamat datang di blog saya.