Senin, 31 Desember 2007

Bapak Presiden: Apakah Kita Perlu Belajar dari Benazir Bhutto?

Budaya Lembut Indonesia: Belajar dari Benazir Bhutto atau dari budaya kita sendiri?

Tulisan ini sebenarnya sudah pernah saya posting di http://ajidedim.wordpress.com tanggal 29 Desember 2007. Semoga masih belum basi karena dalam seminggu ini headline di media nasional banyak memberitakan makin parahnya pemimpin Orde Baru, Soeharto. Di sisi lain para politisi mulai gencar dan "genit" mempromosikan dirinya untuk menjadi calon presiden 2009-2014.

Maksud utama tulisan ini sebenarnya ingin memberi masukan atas relevansi "kekhawatiran" Bapak Presiden kita, dampaknya pada perpolitikan nasional, dengan terjadinya tragedi pembunuhan Benazir Bhutto. Mempertanyakan relevansi di sini dihubungkan dengan budaya Indonesia yang berbeda dengan budaya Pakistan


We need learn more about our "sweet culture", that called Indonesian indigenous culture, not "hard culture" from another culture...

Apakah Indonesia perlu belajar dari fenomena kekerasan politik Pakistan? Pertanyaan yang menggelitik juga. Seperti diketahui bersama, 27 Desember 2007 terjadi tragedi politik berdarah di Pakistan. Tragedi terbunuhnya Benazir Bhutto pada saat proses demokrasi di negara tersebut sedang dilangsungkan. Jelas sekali terlihat dampak demokrasi dalam bentuknya yang paling vulgar, yaitu Kekerasan.More...

Tak ayal, presiden Susilo Bambang Yudhoyono, setelah melakukan "ritual formalitas politik luar negerinya" berupa ucapan bela sungkawa, seperti dirilis dalam berita singkat di Metro TV tanggal 28 Desember 2007, mengeluarkan statement kekhawatiran. Statement terutama ditujukan kepada kepolisian dan intelejen agar belajar mengenai tragedi pembunuhan Benazir Bhutto.

Pertanyaannya, apakah Indonesia akan sampai ke sana? Apakah demokrasi Indonesia memang memiliki tradisi "kekerasan"?

Menilik perkembangan politik kekuasaan di Indonesia, hal tersebut sepertinya belum pernah terjadi secara vulgar. Pemilu kita seberapa kerasnya, bila dilihat dari tradisi sejarah, tidak pernah sampai pada titik mengkhawatirkan seperti itu. Setiap presiden terpilih maupun mantan presiden, sampai detik ini "aman-aman" saja. Bahkan Soeharto, yang jelas-jelas memiliki "dosa sejarah", dalam pandangan para politisi, penguasa maupun gerakan oposan, sampai rakyat, tetap memposisikan beliau sebagai mantan pemimpin Indonesia. Seberapa buruk "prestasi"-nya.

Artinya, bila dilihat dari kacamata budaya, Insya Allah bila kita masih memegang teguh, demokrasi ala Indonesia tidak akan pernah mengarah pada perebutan power dan hegemony dalam bentuk "kekerasan paling vulgar". Budaya Melayu dan Jawa yang dominan dalam alam pikiran atau disebut Pierre Bourdieu sebagai habitus, tetap akan mendudukkan perebutan power dan hegemony yang lebih "lembut". Model Power dan Hegemony Halus ala budaya Indonesia yang lembut tidak akan pernah bergerak menuju "transisi" dan bersegera menjadi "kekerasan" apabila para pemimpin kita, para penguasa, para politisi, masih juga memiliki pola budaya yang sama dengan rakyatnya. Pola "budaya lembut".

Pola "budaya lembut" jelas pula berbeda dengan "budaya keras". Pola budaya lembut selalu mengedepankan "consiousness" dan "awareness" terhadap diri, sosial dan lingkungannya. Artinya, budaya lembut tidak hanya berpikir tentang "consiousness" dan "awareness" dirinya sendiri. Karena pola berpikir tentang dirinya sendiri berakar pada karakter egoistik dan anthroposentris. Ketika hanya diri sendiri sebagai pusat pembuatan kebijakan berbangsa dan bernegara, maka yang terjadi adalah persetujuan, misalnya pada bentuk, (1) perekonomian liberal yang meminggirkan kepentingan ekonomi rakyat, (2) pertanian yang mengedepankan industri besar dan intermediasi pangan yang menggeser peran rakyat, (3) posisi sosial yang strategis berada pada lingkaran kekuasaan dan meminggirkan peran serta demokrasi yang sebenarnya, (4) pemutarbalikan hukum untuk kepentingan kelanggengan kekuasaan tertentu, (5) penjarahan sumber daya alam besar-besaran oleh alat-alat berat dan modal-modal besar, dan lain sebagainya. Ujung atau dampak "consiousness" dan "awareness" untuk kepentingan diri sendiri adalah, pusat-pusat sosial, ekonomi, politik, dan lainnya hanya dimiliki oleh segelintir orang dan meminggirkan kepentingan besar rakyat. Ujung-ujungnya pula adalah kemarahan lingkungan alam, seperti yang terjadi sekarang, ketika musim hujan banjir dimana-mana, ketika musim kering kebakaran hutan dimana-mana.

Budaya lembut dengan demikian harus mengedepankan "consiousness" dan "awareness" di luar dirinya, yaitu sosial (rakyat) dan lingkungan (alam). Mudahnya, penguasa harus tetap mengedepankan "consiousness" dan "awareness" untuk kepentingan rakyatnya dan alam. Operasionalisasi budaya lembut pengambil kebijakan adalah arif dan mengedepankan agenda "konkrit" untuk kepentingan rakyat yang berhati nurani lengkap, dan bukan ekonomi, sosial, politik rakyat dengan syarat. Misalnya, Ekonomi rakyat ya ekonomi untuk kepentingan rakyat, sedangkan ekonomi liberal harus menjadi marginal, dan bukan sebaliknya.

Mungkin kita perlu belajar banyak dari tradisi luhur kita sendiri, seperti misalnya saja, Poros Imajiner Keraton Yogyakarta. Poros Imajiner melambangkan keseimbangan sosial, ekonomi, politik, budaya dalam trilogi kemanusiaan, yaitu akuntabilitas Tuhan (vertikal), Manusia-Alam (horisontal). Poros Imajiner dilambangkan dengan pembangunan keraton Yogyakarta dalam garus lurus Gunung Merapi, Tugu, dan Laut Selatan. Lurusnya letak diri (keraton) terhadap alam (gunung dan laut), sosial (tugu dan jalan malioboro) merupakan simbol dari kesatuan diri penguasa dengan realitas sosial dan lingkungan. Poros tersebut untuk memberikan pengingat horisontal bagi Sultan ketika berpikir dan melakukan tindakan harus selalu menilik dalam "poros" disertai ketundukan vertikal pada Allah SWT. Bagaimana bentuk lanjutnya? Ya gimana ya... :) Semoga...Barakallah...

Tidak ada komentar: